REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Relawan Indonesia (MRI)-Aksi Cepat Tanggap (ACT) berencana menggelar konferensi internasional membahas permasalahan Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina.
“Dalam menangani kasus yang berhubungan dengan hak asasi manusia (HAM), kerja kita dua, yakni aksi kemanusiaan ihwal bagaimana bekerja di lapangan. dan aksi perdamaian wilayahnya soal advokasi,” kata Presiden MRI Syuhelmaidi Syukur dalam konferensi pers di Kantor ACT, Jakarta Selatan, Jumat (21/12).
Dia menjelaskan advokasi menyasar sisi HAM dan kebijakan politik suatu negara. Sebalumnya, memang pernah terselenggara kegiatan World Uyghur Congress (Kongres Uighur Sedunia) di Amerika Serikat (AS). Namun, dia mengatakan, ACT mencoba berkomunikasi ihwal kemungkinan menyelenggarakan kongres serupa di Indonesia pada pertengahan 2019.
“Kita ingin buktikan Indonesia tak tinggal diam,” ujar dia.
Syuhelmaidi mengatakan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan terbanyak dan terbanyak umat Islam. Karena itu, menurut dia, Indonesia menjadi negara stategis untuk menyelenggarakan konferensi itu.
“Jadi (masalah Uighur) tak hanya menjadi domain kelompok minoritas di AS, tetapi juga domain dunia,” kata dia.
Syuhelmaidi mengatakan ACT belum menyusun sasaran penyelenggaraan kongres itu. Namun, sasaran paling utama adalah memberi pemahaman pada warga dunia terhadap masalah Uighur. Dengan demikian, ada kesadaran warga dunia terhadap sebuah kejahatan kemanusiaan di Turkistan Timur atau Uighur.
Selain itu, Syuhelmaidi berharap kongres tersebut menghasilkan ide atau program memperjuangkan nasib Muslim Uighur secara global. Dia optimistis berkumpulnya ahli kemanusiaan dan advokasi akan memunculkan gerapakan dunia yang menekan pemerintah Cina agar memberi perlakuan baik pada Uighur dan Muslim di Xinjiang.