REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak lengkap sebuah rumah tanpa seperangkat perabot. Hunian pada era kejayaan Islam menjadi kian nyaman dengan adanya fasilitas penunjang ini bersama fungsinya masing-masing.
Dalam buku Daily Life in the Medieval Islamic World, James Lindsey mencatat aneka perabot yang digunakan masyarakat Muslim dari abad kedelapan hingga ke-13. Perabot itu antara lain furnitur (meja, kursi), tempat tidur, sofa, dan matras.
Hanya saja, sambung sejarawan dari Colorado State University tersebut, masyarakat pada masa itu lebih banyak beraktivitas di lantai. Karenanya, bantal, matras, karpet, atau tikar menjadi sesuatu yang harus ada dalam sebuah rumah. Mereka tidak duduk di kursi.
Kursi, meja, dan sofa melengkapi rumah kalangan bangsawan. Tapi, hanya digunakan secara terbatas. Keluarga memilih duduk di lantai, demikian pula ketika makan bersama.
Tradisi di Jazirah Arab adalah mereka makan dari nampan besar secara bersama-sama. Keluarga atau tamu duduk di karpet dan menikmati jamuan. Menu utama adalah daging domba, nasi, roti, dan buah segar.
Perabot kursi dan meja umumnya tidak diletakkan di dalam rumah, melainkan ditaruh di teras, halaman, atau kebun. Jenis perabot juga menentukan status keluarga, apakah berasal dari kalangan bangsawan, usahawan, atau awam.
Begitu pula bentuk tempat tidur. Bila tempat tidur itu memiliki kaki-kaki dan berukuran besar, itu hanya mampu dibeli oleh orang kaya. Sebaliknya, tempat tidur tanpa kaki hanya berupa matras, karpet, dan bantal merupakan fasilitas standar masyarakat golongan menengah bawah.