REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Protes PBB atas dugaan penahanan sekitar satu juta muslim Uighur kembali menjadi perhatian dunia, terlebih setelah Pemerintah Cina memberlakukan sejumlah pembatasan. Menanggapi hal tersebut Aksi Cepat Tanggap merespons dengan rencananaya mengirim bantuan kemanusiaan.
Senior Vice President Aksi Cepat Tanggap Syuhelmaidi Syukur mengungkapkan, pasang surut krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Uighur telah terjadi puluhan tahun silam. Krisis semakin memuncak dengan adanya pembatasan HAM terhadap masyarakat Uighur, seperti pelarangan untuk beribadah. ACT saat ini berikhtiar penuh merespons dalam bentuk bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Uighur.
Dalam waktu dekat, ACT akan memberangkatkan tim untuk memberikan bantuan dan meninjau langsung sejumlah pengungsi Uighur. “Insyaallah, kita akan memberangkatkan tim dalam beberapa fase. Selain di Xinjiang, banyak diaspora Uighur tersebar di berbagai negara seperti Turki dan Kirgistan. Dalam minggu ini kami akan memberangkatkan Tim Sympathy of Solidarity (SOS) untuk Uighur I,” jelas Syuhelmaidi, Selasa (18/12), seperti dikutip ACT News.
Sejumlah bantuan akan disampaikan kepada pengungsi Uighur, khususnya anak-anak yatim Uighur. Bantuan tersebut akan diberikan dalam bentuk bantuan pendidikan, modal usaha, dan kebutuhan musim dingin.
“Semua program akan segera diinisiasi. Selain itu, negara-negara yang akan kita kunjungi dalam keadaan musim dingin, bantuan yang diberikan juga berupa kebutuhan musim dingin,” ujar Direktur Global Humanity Response (GHR) ACT Bambang Triyono.
Selain Turki, ACT akan menyapa pengungsi Uighur di tiga negara yang secara geografis berdekatan dengan wilayah domisili terbesar mereka, Xinjiang. Ketika negara tersebut meliputi Kirgistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan. Tim diperkirakan akan berangkat sebelum Januari 2019.
Di samping itu, Bambang menyampaikan, isu kemanusiaan Uighur akan tetap menjadi perhatian Solidaritas Kemanusiaan Dunia Islam (SKDI). “GHR yang diberikan mandat soal ini sekuat tenaga pastilah merespons di mana pun ada isu-isu kemanusiaan yang ada di negara-negara SKDI. Termasuk Uighur, tidak menutup kemungkinan kita menyapa warga Uighur di tempat asalnya,” jelas Bambang.
Dari dalam negeri, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin mengecam penindasan Muslim Uighur di Xinjiang. Din mengatakan, penindasan yang dilakukan kepada Muslim Uighur di Cina telah melanggar hak asasi manusia.
Etnis Uighur merupakan suku minoritas Muslim yang menjadi penduduk mayoritas di Provinsi Xinjiang, Cina Barat. Sensus populasi etnik yang ditulis Departemen Statistik Populasi, Sosial, Sains dan Teknologi, Biro Statistik Nasional Tiongkok tahun 2000 menyebutkan, 45,84 persen penduduk di Xinjiang adalah suku Uighur. Beberapa bulan terakhir di tahun 2018 ini, sejumlah media internasional memberitakan adanya kamp indoktrinasi untuk warga etnis Uighur dari Pemerintah Cina.