Selasa 18 Dec 2018 19:09 WIB

Umat Islam di Burundi Perlahan Bangkit

Muslim Burundu banyak tinggal di perkotaan.

Muslim Burundi
Foto: Worldbulletin.net
Muslim Burundi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Muslim Burundi kebanyakan tinggal di beberapa kota, seperti Gitega, Rumonge, Nyanza, Muyinga, dan Makamba. Sedangkan, komunitas Muslim terbesar ada di Bujumbura, Ibu Kota Burundi. Di kota ini, masjid utama Burundi dan Islamic Cultural Center yang dibangun Pemerintah Libya (di bawah pimpinan Presiden Bagaza) berada.

Muslim Burundi berasal dari suku dan bangsa yang beragam. Selain penduduk asli Burundi (Hutu dan Tutsi, konon telah berada di Burundi sejak abad ke-15), Muslim Burundi juga berasal dari Rwanda. Selain itu, ada pula "Warabu" (sebutan bagi pedagang Arab dan Oman yang telah tinggal di Burundi), serta "Bahindi" (orang-orang India dan Pakistan yang juga telah lama bermukim di Burundi).

Selain mereka, orang-orang Afrika Barat juga memasuki Burundi dalam beberapa dekade terakhir. Mereka adalah para pedagang dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading yang datang untuk mengimpor pakaian dan kain atau bertransaksi emas yang ditambang dari Kongo. Banyak dari mereka kemudian meninggalkan Burundi saat konflik pecah pada 1993. Sisanya tetap tinggal dan membuka toko-toko kecil di pasar pusat atau di Bwiza.

Dalam "Muslims in Burundi: Discretion and Neutrality", dikisahkan bahwa Islam mula-mula diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Swahili yang tiba di Burundi sejak awal abad ke-19 melalui Samudera Hindia dan melewati Ujiji (sekarang wilayah di Tanzania) untuk mencari gading dan juga budak.

Sekitar 1850, mereka membuat koloni di Uvira. Ujiji dan Uvira kemudian menjadi titik pertemuan para kafilah dan para pedagang (orang-orang Arab dan Afrika). Dari sana, mereka lalu mulai bertukar produk atau barang dagangan dengan Nyanza dan Rumonge, dua kota tepi danau di Burundi.

Sedikit demi sedikit, Islam mulai masuk ke Burundi. Pada 1885, Gubernur Ujiji Mohammed bin Khalfan memutuskan untuk memperluas kekuasaannya ke selatan dengan tujuan memperoleh lebih banyak gading dan budak belian. Bin Khalfan merupakan bagian dari Barwani, sebuah keluarga Oman yang masyhur dan telah bermukim di Afrika Timur. 

Ia berkali-kali mengirim serangan ke wilayah tepian danau di Burundi. Namun, pertahanan Raja Mwami Mwezi IV Gisabo Bikata-Bijoga (raja Burundi yang berkuasa pada 1852-1908) berhasil menahan serangan-serangan tersebut sehingga Bin Khalfan gagal menguasai Burundi.

Pada 1890, rombongan misionaris pertama tiba di daerah yang sekarang menjadi Kota Burundi. Di sana, mereka menemukan "Wangwana", nama yang diberikan kepada Muslim Afrika di Afrika Tengah. Dengan kata lain, Muslim telah tiba lebih dahulu daripada Kristen. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, mayoritas populasi Bujumbura memeluk Islam.

Selanjutnya, Islam di Bujumbura meningkat dengan kolonisasi yang dilakukan oleh Jerman yang sebagian tentara kolonialnya beragama Islam. Pada waktu yang sama, para pedagang India dan Arab berduyun-duyun memasuki Bujumbura demi meraup keuntungan berdagang yang lebih besar dari kota yang sedang berkembang tersebut. 

Kala itu, Jerman memasukkan orang-orang Swahili dan Banyamwezi dalam satuan polisi dan administrasi. Lalu, Kiswahili menjadi bahasa resmi Jerman Afrika Timur (nama untuk wilayah kolonial Jerman di Afrika Timur).

Pada masa kolonisasi Belgia yang dimulai pada 1919, penduduk Burundi mulai tinggal di Bujumbura. Namun, hingga 1957, orang-orang Burundi tidak lebih dari 27 persen dari total penduduk Bujumbura. Selain mereka, terdapat lebih dari 80 suku yang berbicara dalam 34 bahasa berbeda. Saat itu, Muslim berjumlah 35,6 persen dari seluruh populasi yang beragam itu.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement