REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri RI menyatakan bahwa konsep Islam Nusantara merupakan salah satu aset besar dari kekuatan lunak (soft power) dan diplomasi Indonesia ke depan. Hal itu disampaikan dalam keterangan tertulis dari Kementerian Luar Negeri yang diterima di Jakarta, Senin (10/12).
Dalam rangka mengantisipasi kebutuhan diplomasi Indonesia ke depan serta meningkatkan pemahaman mengenai Islam Nusantara, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri menggagas seminar dengan para pakar di Univeritas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Seminar internasional yang bertajuk "Islam Nusantara dan Diplomasi RI" itu menghadirkan beberapa panelis. Di antaranya Kepala BBPK Kemenlu Siswo Pramono, Rektor UIN Sunan Ampel Masdar Hilmy, Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, dan Ketua Umum Pegurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama Ali Masykur Musa.
Seminar internasional yang dibuka Kepala BPPK Kemenlu itu mendapat sambutan baik dari para mahasiswa UIN, tokoh organisasi kemasyarakatan, dan kalangan cendekiawan Muslim. "Lebih dari 40 negara di dunia menyatakan ketertarikannya melihat wajah Islam Nusantara dengan nilai-nilai moderasinya," ujar Arifi Saiman, Kepala Pusat P2K2 BPPK Kementerian Luar Negeri dalam paparannya berjudul "Islam Nusantara dan Diplomasi Indonesia" di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Arifi mengatakan, sebanyak 21 negara di dunia telah membuka diri bagi kehadiran nilai-nilai Islam Nusantara. "Bahkan Belgia yang telah meminta ulama NU untuk menjadi imam di 168 masjid di Belgia," lanjut Arifi Saiman.
Dia mengatakan, Islam Nusantara ataupun terminologi Islam Nusantara Berkemajuan adalah wujud sinergi dari nilai islami, kearifan local, dan budaya Indonesia yang sekaligus saling memperkaya kelenturan dan peningkatan daya pikat diplomasi Indonesia di mancanegara. Selain itu, Islam Nusantara adalah instrumen diplomasi dengan daya jangkau yang luas sekaligus lentur namun mampu menembus dan memberi jalan keluar kepada pihak-pihak yang bertikai.