REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hijrah bagi sebagian orang mungkin hanya dimaknai sebagai pejalanan dari suatu tempat kepada tempat lainnya. Padahal, lebih dari itu hijrah mempunyai makna yang lebih dalam, sehingga patut dipahami oleh umat yang hidup di zaman kemerosotan moral ini.
Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan atau pindah. Secara umum, hijrah bermakna meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT, seperti keburukan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Sementara, secara khusus hijrah bermakna pindahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam rangka menyelamatkan iman dan Islam serta membangun peradaban baru di tempat yang baru pula.
Dalam konteks berbeda, Imam al-Asfahani mengatakan bahwa hijrah berarti terpisahnya seseorang dengan yang lainnya, baik berpisah secara fisik, lisan, atau dengan hati. Dengan demikian, umat yang tidak berbicara karena rasa benci kepada umat lainnya termasuk hijrah. Sikap buruk seperti ini tentu dilarang dalam ajaran Islam, khususnya jika rasa benci tersebut dibiarkan lebih dari tiga hari.
Sementara, salah satu ulama Islam Al-Jurjani menjelaskan, hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam yang damai. Hal ini merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah yang dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.
Dalam pembahasan ini, hijrah merupakan istilah yang membicarakan peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Karena itu, hijrah dapat berarti juga sebagai sikap melawan keburukan atau kejahatan seperti yang telah dicontohkan para nabi.