Selasa 27 Nov 2018 19:45 WIB

Kebiasaan Abu Bakar Sebelum Menyantap Makanan

Abu Bakar selalu menjaga dirinya dari makanan yang syubhat

Makanan halal
Foto: ist
Makanan halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi Abu Bakar RA, setiap kali sebelum menyantap makanan yang dihidangkan pembantunya, selalu ber tanya. “Bagaimana engkau dapatkan makanan ini? Dari siapakah engkau mendapatkannya?” Inilah kalimat yang selalu terucap dari lisan Abu Bakar RA pada pembantunya itu.

Suatu kali, Abu Bakar dilanda rasa lapar yang hebat. Memang ia telah terbiasa dengan rasa lapar. Namun, saat itu batu-batu yang sering ia gunakan un tuk mengganjal perutnya tak lagi bisa membantu. Untunglah pembantunya telah siap menghidangkan makanan. Dengan mengucap doa, Abu Bakar langsung saja menyantap hidangan makanan tersebut.

“Wahai Abu Bakar, bukankah eng kau biasanya selalu menanyakan kepadaku asal-usul makanan itu sebelum memakannya?” tanya si pembantu.

Abu Bakar sadar. Ia melewatkan sesuatu yang selama ini telah menjadi kebiasaannya. “Maafkan aku. Tadi aku sangat lapar, jadi aku tak sempat bertanya. Sekarang ceritakanlah kepadaku dari mana asal-usul makanan ini?” pinta Abu Bakar.

Pembantunya pun berkisah. “Wahai Abu Bakar. Sebelum masuk Islam, aku adalah seorang dukun (tukang sihir). Aku banyak sekali menerima pasien. Ada beberapa pasienku yang mengutang saat berobat padaku. Nah, kebetulan tadi aku bertemu dengan salah satu pasien yang mengutang itu. Dia memberikanku makanan ini (sebagai upah pelunas utang). Makanan itulah yang aku hidangkan kepadamu,” kisah si pembantu.

Betapa kagetnya Abu Bakar mendengar penuturan si pembantu. Abu Bakar langsung memasukkan jarinya ke dalam mulutnya. Ia mencoba memuntahkan kembali apa yang baru disantapnya. Dalam riwayat Aisyah disebutkan, hampir saja Abu Bakar tewas karena usahanya memuntahkan ma kan an tersebut. Perutnya yang masih lapar menolak untuk memuntahkan makan an. Perjuangan Abu Bakar untuk memuntahkan makanan itu hampir-hampir merenggut nyawanya.

“Mengapa engkau memuntahkan kem bali makanan itu, wahai Abu Bakar? Bukankah apa yang telah (tidak sengaja) termakan (sekali pun haram) itu telah dimaafkan Allah SWT?” tanya si pembantu sedih.

“Memang benar. Tapi, aku takut karena Rasulullah SAW bersabda, ‘setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka tempatnya (daging itu) adalah di neraka’ (HR Muslim),” kata Abu Bakar menjelaskan.

Demikian disiplinnya Abu Bakar menjaga dirinya dari makanan yang syubhat, yang belum otentik kehalalannya apalagi dari yang haram. Ia takut, jika ada daging yang melekat di tubuhnya ditumbuhkan dari makanan yang haram. Tentu, tempat daging tersebut adalah neraka di akhirat kelak.

Di negara-negara non-Muslim, seperti Eropa dan Australia, Muslim setempat sangat disiplin dalam memperhatikan ma kanan halal. Umat Islam di Eropa, Ame rika Serikat, serta Australia tak mau membeli makanan yang tidak mendapa tkan pengakuan halal dari Islamic Center setempat.

Mereka mempercayakan urusan daging dan penyembelihan kepada orang yang terpercaya, baik penyembelihan se suai syariat hingga pemilihan daging yang baik.

Justru di negara yang mayoritas Islam terbesar di dunia, Indonesia, status kehalalan suatu makanan tidak menjadi prioritas penting. Label halal dari produk makanan dan penyedia tempat makan tak menjadi perhatian serius. Padahal, banyak sekali ditemui orang yang menyembelih hewan tak sesuai tuntunan syariat Islam.

Memperhatikan makanan adalah suatu keniscayaan bagi seorang Muslim. Ka re na makanan menjadi nutrisi bagi tu buh nya yang akan ia pergunakan untuk beribadah. Apakah mungkin, ia menyembah Allah dengan tubuh yang tumbuh dari makanan haram? Bahkan, tidak hanya untuk makanan yang jelas keharamannya. Makanan yang syubhat saja diperintahkan untuk dihindari.

“Halal itu jelas. Haram itu jelas. Adapun di antara keduanya adalah perkara syubhat. Siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat, maka selamatlah agamanya. Siapa yang bermain-main dengan perkara syubhat, ibarat seorang yang menggembala domba di pinggir jurang. Besar kemungkinan dombanya akan terperosok dan jatuh.” (HR Muslim).

Imam Nawawi selama 10 tahun ber mukim di Syam sama sekali tak pernah membeli buah di pasar. Bukanlah Sang Imam tak menyukai buah. Tapi, ia memandang buah yang dijual di Kota Syam adalah syubhat hukumnya. Buah tersebut diambil dari kebun yang tak jelas siapa pemiliknya. Akhirnya, Sang Imam memutuskan tak pernah memakan buah selama 10 tahun.

Demikianlah sikap orang-orang terdahulu yang dikenal luas keilmuan dan terjamin ketakwaannya. Mereka sangat teliti dengan apa yang mereka makan. Ketika input-nya dijaga, maka insya Allah output-nya juga akan berkualitas. Ketika seseorang menjaga makanannya, maka insya Allah ia akan menjadi Muslim yang saleh dan takwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement