REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla yang juga merupakan Ketua Umum Dewan Masjid (DMI) telah membahas persoalan masjid yang terpapar radikalisme. Jusuf Kalla mengatakan, salah satu cara untuk mengatasinya yakni dengan melakukan pendekatan kepada penceramah.
"Karena itu (saya) rapat sebentar (dengan) dewan masjid, antara lain bagaimana sampai ke bawah diberikan suatu batasan-batasan jangan membikin hoaks, jangan bicara tanpa data, dan sebagainya," ujar Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jumat (23/11).
Selain itu, DMI juga telah membuat batasan-batasan dan kurikulum bagi penceramah. Jusuf Kalla menegaskan, batasan-batasan dan kurikulum tersebut harus ditaati oleh penceramah. Sebab, di tahun politik ini harus dibedakan antara antara mengritik dan memberi saran.
"Kita tidak melarang penceramah. Tapi batasan-batasannya mereka harus taati, apalagi tahun politik sekarang ini membedakan antara mengritik dan memberi saran itu kadang-kadang susah dibedakan itu. Orang mengritik padahal dia ngomong amar maruf nahi munkar dikira mengritik pemerintah, salah juga," kata Jusuf Kalla.
Sebelumnya, Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan ada 41 masjid di kementerian dan lembaga terpapar paham radikalisme. Dari 41 jumlah masjid tersebut terdiri dari 11 masjid di kementerian, 11 masjid di lembaga, dan 21 masjid BUMN.
Jusuf Kalla menilai, jumlah masjid yang diduga terpapar paham radikalisme tersebut tidak sebanding dengan jumlah masjid di Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki sekitar 900 ribu masjid. Jusuf Kalla mengatakan, kekhawatiran akan muncul apabila masjid yang diduga terkena radikalisme berjumlah sekitar 100 ribu masjid.
"Kalau yang radikal ada 41 itu artinya tidak besar kan, yang saya takut mereka (masjid terpapar radikalisme) sudah 100 ribu baru takut. Kalau hanya 41, artinya masih mudah kita perbaiki," ujar Jusuf Kalla.