REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat saat ini tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 5,34 persen dari total angkatan kerja. Persentase tersebut setara dengan 7,001 juta orang dari total angkatan kerja sebanyak 131,01 juta orang.
Penyumbang jumlah pengangguran terbanyak adalah lulusan SMK, yaitu sebesar 11,24 persen. Ironisnya, justru penganggur lulusan SD lah yang paling sedikit, di angka 2,43 persen. Sedangkan lulusan universitas sebesar 5,89 persen, lebih kecil dari lulusan diploma sebesar 6,02 persen. Sisanya adalah lulusan sekolah menengah. Lulusan SMP sebesar 4,80 persen dan lulusan SMA sebesar 7,95 persen.
Data di atas selayaknya menjadi evaluasi bersama. Mengapa lulusan sekolah kejuruan yang notabene mengajarkan ketrampilan, malah menduduki posisi jawara dalam jumlah pengangguran? Mengapa pula lulusan universitas dan sarjana juga banyak yang tak terserap dalam dunia kerja? Negeri ini telah sangat jelas merumuskan tujuan sistem pendidikannya.
Hal itu tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 huruf c dan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Tersurat dalam undang-undang tersebut bahwa arah pendidikan Indonesia adalah menghasilkan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlakul karimah, mandiri, dan kompeten.
“Masalah pendidikan saat ini adalah sekolah terjebak pada legalitas formal selembar ijazah. Sekolah merasa sudah melaksanakan kewajibannya dengan meluluskan siswa-siswanya berbekal ijazah. Namun, minim integritas, karakter, dan kompetensi,” ujar Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Muhammad Syafi’ie El Bantanie dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (8/11) lalu.
Menurutnya, kunci utama membangun peradaban adalah melalui pendidikan. Pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya manusia yang unggul. Sebagai gerakan masyarakat sipil, lembaga yang dipimpinnya pun turut memberikan kontribusinya dalam mengentaskan permasalahan pendidikan di Indonesia.
“Dompet Dhuafa Pendidikan melaksanakan program-program pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki integritas, karakter, dan kompetensi,” papar Syafi’ie.
Lantas bagaimana caranya mencetak lulusan seperti itu? Ternyata kuncinya ada pada kurikulum. Dompet Dhuafa menerapkan kurikulum kepemimpinan pada setiap program pendidikannya. “Dengan pembinaan yang intensif, peserta didik kami memiliki konsep diri yang matang. Dengan konsep diri yang matang ini mereka bisa merencanakan roadmap masa depannya dan memperjuangkannya dengan modal integritas, karakter, dan kompetensi yang dimilikinya,” pungkas Syafi’ie.
Ia mengungkapkan, tanggung jawab membangun bangsa ini bukan hanya terletak pada pemerintah saja. Masyarakat pun perlu turut bergerak agar semua permasalahan di negeri ini dapat terselesaikan.