REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H. Khumaini Rosadi, SQ, M.Pd.I )*
Kerja keras dalam Islam hukumnya wajib. Muslim yang tidak mau bekerja keras tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Apalagi hidup dengan mengharap belas kasihan dari orang lain. Lebih baik makan sesuap nasi dari hasil keringat sendiri daripada makan sebakul nasi dari hasil meminta-minta belas kasihan orang lain.
Merantau ke luar negeri. Sebut saja bekerja di Korea demi mencari rezeki yang halal untuk anak istri, bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Baik dari pekerjanya sendiri atau pun dari keluarga yang merelakan suami atau ayahnya bekerja di Korea. Pengorbanan itu bisa berupa pikiran, perasaan, waktu, kasih sayang, uang, kesehatan, dan lain-lain.
Heri Galih dan Habibi misalnya. Habibi asal Cirebon dan masih sendiri. Umurnya baru 23 tahun, belum berkeluarga. Beban nafkah untuk anak istri belum ada. Meskipun begitu ia harus berbagi kesenangan kepada kedua orangtua.
Sudah dua tahun bekerja di Korea melalui hasil seleksi ketat yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu G to G (Government to Government). Salah satu seleksinya adalah calon PMI sudah harus bisa berkomunikasi dengan Bahasa Korea termasuk menulis Hangguel.
Sementara Heri Galih adalah PMI asal Indramayu sudah berkeluarga, anaknya baru satu. Melalui hasil seleksi yang sama, Heri Galih pun sudah pandai berkomunikasi dengan bahasa Korea dan dapat menulis Hangguel. Tapi sayangnya sudah dua bulan ini, belum mendapatkan pekerjaan yang cocok sesuai dengan bakat dan minatnya.
Yang diinginkan adalah pekerjaan yang fleksibel, resiko rendah, dan pekerjaan yang tidak menghalangi untuk melakukan shalat lima waktu. Subhanallah.
Ketika saya tanyakan tentang gaji rata-rata PMI di Korea Selatan kepada Habibi, ia menjawab sambil menunjukkan tawaran pekerjaan beserta gaji yang akan diterima adalah 1800000 won atau setara dengan Rp. 24.048.000. wow, angka yang lumayan banyak untuk sekelas tamatan SMP dan SMA. Itupun belum terhitung lembur dan bonus-bonus lain. Bisa saja menembus angka Rp. 30.000.000 –an jika banyak lembur dan masa kerja yang baik.
Menjadi PMI di Korea pun penuh resiko. Resikonya besar jika tidak berhati-hati dalam bekerja. Karena pekerjaan yang dibidangi oleh PMI adalah Industri Manufaktur, pekerjaan yang membutuhkan tenaga kasar dan kehati-hatian yang tinggi. Kelalaian dalam bekerja dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Tidak sedikit PMI yang mengalami kecelakaan kerja akibat mengoperasikan mesin press yang macet, namun di saat mesin itu turun, pekerjanya lengah dan terjadilah kecelakaan kerja.
Seperti yang diceritakan oleh Hadi pada Jumat (3/11) ketika saya menjenguknya di rumah sakit. PMI asal Cepu yang harus mengalami cacat permanen karena jarinya terpotong mesin press. Meskipun akhirnya masih bisa disambung lagi, tetapi ukurannya menjadi lebih pendek karena ada sebagian ruas jarinya yang dibuang.
Menjadi PMI di tanah Gingseng harus pandai-pandai bergaul memilih teman. Karena teman inilah yang akan menjadi saudara senasib dan seperjuangan membawa nama baik bangsa Indonesia. Karena di saat sakit atau mendapatkan musibah, maka teman-teman di Korea lah yang akan membantu membawanya ke rumah sakit.
Seperti kasus terjadi pada orang Indonesia, yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Sementara ia bukanlah pekerja legal yang memiliki asuransi kesehatan. Tidak ada kerabat, tidak ada saudara di Korea. Siapa yang membantunya?
"Tentunya tema-teman PMI yang ada di sebelahnya,"ungkap Heri Galih.
Bahkan dari setiap komunitas Indonesia di Korea ikut prihatin dan melakukan penggalangan dana. Bergaul dengan siapa saja, boleh. Asal jangan sampai salah pergaulan. Solidaritas dengan sesama teman, harus.
Asal masih tolong menolong dalam kebaikan, bukan saling menolong dalam kemungkaran. Jangan karena alasan solidaritas, akhirnya berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.
*Tim Inti Dai Internasional dan Media (TIDIM) JATMAN (Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah), Corps Dai Ambassador Dompet Dhuafa (CORDOFA).