Senin 05 Nov 2018 23:30 WIB

Kota-Kota Islam Miliki Banyak Funduq

Pada mulanya, funduq berkaitan dengan pusat perdagangan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir
Foto: saharamet.org
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sesudah era Khulafaur Rasyidin, wilayah kedaulatan Islam semakin meluas. Dinasti-dinasti Muslim timbul dan tenggelam, silih berganti.

Mereka mewariskan suatu peradaban madani yang berfondasi pada Islam--agama yang mengajarkan rahmatan lil `alamin. Dunia tidak pernah menyaksikan suatu kebudayaan yang seluhur dan sekosmopolitan itu sebelumnya.

Kota-kota Islam memiliki banyak hotel (bahasa Arab: funduq) sebagai tempat menginap para pelancong. Benedikt Koehler dalam Early Islam and the Birth of Capitalism (2014) menjelaskan, sejarah hotel menurut konteks peradaban Islam. Pada mulanya, funduq berkaitan dengan pusat perdagangan (trade center) yang telah dirin tis sejak zaman Rasulullah SAW. Maka dari itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kondisi pasar pada masa Jahiliyah dan Islam.

Pada umumnya, pasar-pasar di Jazirah Arab pra-Islam bersifat semipermanen dan berlangsung hanya dalam periode tertentu, puncaknya pada musim haji. Di Makkah, para pedagang lokal membuka gerai di depan rumah masing-masing pada hari-hari tertentu per pekan. Kafilah-kafilah dagang dari luar kota mengadakan transaksi dengan mereka. Begitu transaksi usai, gerai itu pun tutup dan para kafilah dari luar melanjutkan perjalanannya.

Sesudah hijrah, Nabi SAW mendirikan tatanan baru di Madinah, termasuk dalam urusan komersial. Beliau SAW menginstruksikan pendirian satu pasar baru, sehingga total ada lima pasar di kota tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasar yang wujudnya hanya berupa tenda sederhana itu dihancurkan musuh.

Rasulullah SAW pun mendirikan kompleks pasar baru yang lebih luas. Kali ini, para pedagang di dalamnya tidak dipungut pajak. Adanya bebas pajak (tax exemption) itu membuat Madinah lebih menarik ketimbang Makkah di mata kafilah-kafilah dagang.

Sistem pasar yang telah diinisiasi Nabi Muhammad SAW mulai berubah sejak Kekhalifahan Umayyah. Khalifah ke-10, Hisyam bin Abdul Malik, mengubah bentuk pasar menjadi bangunan permanen dua lantai yang disebutnya magazine.

Lantai pertama difungsikan sebagai tempat tinggal sementara para kafilah terutama dari luar daerah, sedangkan lantai kedua sebagai tem pat transaksi dan gudang. Di Madinah, magazine menjadi bangunan terbesar kedua setelah Masjid Nabawi pada masa itu.

Perniagaan tidak kenal batas agama dan bangsa. Islam memberi ruang pada semangat kosmopolitan semacam itu. Syariat menentukan agar penguasa Muslim melindungi para pelancong, termasuk kafilah-kafilah dagang yang datang dari luar, sekalipun mereka non-Muslim. Sepanjang peradaban Islam, pedagang asing (mustamin) rata-rata dibebankan pajak 10 persen.

Setelah membayar kewajibannya, mereka berhak atas perlindungan negara dan izin tinggal satu tahun lamanya--tetapi di saat yang sama mesti mematuhi aturan Islam, termasuk larangan praktik riba dan penjualan minuman yang memabukkan.

Koehler membandingkan, dengan beban pajak yang sama, para pedagang Muslim yang singgah di kota-kota Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) hanya memperoleh izin tinggal empat bulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement