Selasa 06 Nov 2018 05:30 WIB

Petaka Membanggakan Nasab

Mencela orang lain karena nasab mereka yang tidak sebanding merupakan penyakit hat

Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pada masa Rasulullah berdakwah terdapat dua pria berselisih. Salah seorang membanggakan kebesaran asal usul nasab, leluhur, dan nenek moyangnya. Lalu, dia mencibir lawannya dengan ucapan, Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu itu siapa, tidak ada ibu bagimu.

Rasulullah mengetahui hal itu dan menegur orang yang membanggakan leluhurnya dengan sebuah pelajaran. Nabi menyampaikan kepada mereka bahwa di kalangan Bani Israil pada zaman Musa terdapat dua orang yang berselisih dan bersitegang.

Lalu, seorang dari keduanya membanggakan leluhurnya yang besar dari kalangan pengikut kekufuran. Dia menyebutkan, sembilan moyangnya dan berkata, Aku adalah fulan bin fulan, sampai keturunan nenek moyang kesembilan.

Kebanggaan kepada leluhurnya dan cibiran terhadap lawannya menunjukkan penyakit busuk yang mengalir di dalam jiwa orang seperti ini. Dia melihat moyangnya memberikan harga yang membuatnya lebih tinggi dari yang lain dan menjadikannya lebih unggul dengan moyang-moyang itu.

Kemudian, selainnya yang tidak berasal dari asal usul itu tidak mampu menandinginya sedikit pun. Anggapan ini sejatinya telah mengakibatkan seseorang berada di level yang lebih rendah.

Laki-laki lain adalah seorang yang saleh. Dia menjelaskan nasabnya, Aku adalah fulan bin fulan bin fulan bin Islam. Kedua bapaknya yang dibanggakan tadi adalah Muslim.

Kemudian, dia membanggakan keislamannya dan tidak mau membanggakan leluhurnya yang kafir. Diriwayatkan bahwa hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah, Salman al-Farisi.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement