REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar rapat pleno ke 32 bersama ketua dari berbagai organisasi Islam di Gedung MUI Pusat, Jakarta. Pertemuan dengan tema 'bencana, dusta dan benci' ini, untuk menyadarkan bahwa segala macam permasalahan yang terjadi berawal dari timbulnya rasa benci dan perkataan dusta.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin menjelaskan, marak terjadinya bencana, juga dapat disebabkan dari kebisaan berdusta dan membenci. Karena sejatinya, dusta dan benci dapat mengundang kemurkaan Allah SWT.
"Rasulullah SAW juga selalu mengingatkan untuk selalu menjauhi perbuatan dusta, karena dusta dapat menjauhkan seseorang dari iman," katanya.
Dalam hal ini, dia menyarankan, setiap Muslim memandang sesama Muslim sebagai saudara seiman dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, kejujuran, dan solidaritas, bukan dengan rasa benci, antipati, dan cenderung melukai. Hal ini, kata dia, sesuai dengan banyaknya kasus ujaran kebencian yang dilontarkan sesama Muslim, yang sepatutnya saling bela-membela.
Dikatakan Didin, setiap Muslim untuk merasa wajib mengembangkan persaudaraan keimanan, menuju sikap dan budaya untuk saling membantu dan melindungi. Karena itu, kata dia, umat Muslim tidak hidup berkubu-kubu, bersikap arogan, dan menganggap organisasinya yang terbaik.
“Apalagi dengan mengklaim pendapat atau kelompok tertentu yang paling benar dan menyalahkan pendapat atau kelompok lain. Itu jelas salah. Organisasi Islam adalah wadah pemersatu, bukan pemecah umat,” kata Didin saat memimpin rapat di Gedung MUI Pusat, Rabu (24/10).
Setiap organisasi atau lembaga Islam, kata Didin, sudah sepatutnya memandang organisasi Islam lain sebagai mitra perjuangan. Dia juga mengajak, umat Muslim untuk mengembangkan budaya kerja sama meraih kebaikan. Bukan justru membumikan budaya pertentangan, permusuhan, dan persaingan tidak sehat.
Begitu pula dalam kehidupan berpolitik, Didin mengatakan, setiap Muslim dan organisasi atau lembaga Islam harus mengedepankan kebersamaan dan kepentingan bersama umat Islam dan meletakannya di atas kepentingan kelompok atau organisasi.
“Sesama pemimpin dan tokoh umat Islam wajib menghidupkan silaturahim tanpa memandang perbedaan suku, etnik, organisasi, kelompok atau aliran politik,” kata dia.
Setiap pemimpin dan tokoh umat Muslim, kata dia, juga perlu menahan diri untuk mempertajam dan mempertimbangkan masalah-masalah khilafiah, keberagaman ijtihad, dan perbedaan mazhab di dalam forum khutbah, pengajian dan sebagainya. Menurut dia, hubungan antara sesama organisasi Islam haruslah dilandasi pandangan positif, dan selalu mengedepankan sikap saling menghargai peran, dan kontribusi masing-masing dalam pembangunan umat.
Didin juga meminta umat Muslim untuk senantiasa menjaga sikap saling dukung-mendukung dalam kebaikan. Bukan hanya Muslim di Indonesia, namun juga di seluruh belahan dunia. Setiap amal dan prestasi suatu organisasi Islam, lanjut dia, haruslah dipandang sebagai bagian dari karya dan prestasi umat Islam secara keseluruhan.
Didin mengatakna, setiap kaum muslimin harus memandang sesama Muslim lain di berbagai negara dan belahan dunia sebagai bagian dari dirinya dan berkewajiban untuk membangun solidaritas dan tolong menolong dalam berbagai bidang kehidupan. “Dalam arti organisasi Islam yang lain wajib menghormati, menjaga serta melindunginya,” tutupnya.
Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Noor Achmad juga mengingatkan, umat Muslim untuk waspada dengan ujaran-ujaran kebencian dan berita-berita dusta (hoaks). Menurut dia, dua hal tersebut bukan hanya dapat berpotensi memecah persatuan, namun juga membangkitkan kemurkaan Allah SWT.
“Munculnya ujaran kebencian dan hoaks dengan hubungan munculnya bencana, memang dapat dikategorikan sebagai peringatan dari Allah, juga dapat menjadi pertimbangan kita untuk mengintrospeksi diri,” kata Noor.
Beberapa hal lain, lanjut Noor, yang dapat memacu munculnya suatu bencana, yaitu sikap tamak atau rakus, dimana seseorang akan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan tujuannya, termasuk berkata dusta dan menebar kebencian. Sikap takut untuk menerima kelompok lain yanh berbeda, dan menanamkan sikap ekstensifitas pada satu kelompok, kata Noor, juga berpotensi menimbulkan tindakan dusta dan benci.
“Bukan hanya berlaku bagi non muslim, tapi juga umat Muslim sendiri,” kata dia.