Senin 22 Oct 2018 14:14 WIB

Menanti UU JPH

Jaminan kehalalan suatu produk adalah hak setiap masyarakat, khususnya muslim.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kiri) didampingi para pejabat terkait memberikan paparannya ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (19/10).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kiri) didampingi para pejabat terkait memberikan paparannya ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (19/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah mengatakan, pengesahan undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal (JPH) sudah sangat mendesak. Menurut dia, masa peralihan antara Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat menjadi celah bagi produsen asing untuk membebaskan diri dari kewajiban sertifikasi halal. 

Dengan menyegerakan pengesahan UU JPH, lanjut Ikhsan, pemerintah secara tidak langsung dapat membendung masuknya produk impor ke dalam negeri. Selain itu, Ikhsan juga menggangggap UU JPH dapat menjadi instrumen yang menguatkan rupiah terhadap dolar, mengingat semakin menurunnya nilai tukar rupiah.

“Dibentuknya BPJPH sebelum sahnya PP JPH menjadikan masa transisi yang rentan dimanfaatkan produsen nakal,” kata Ikhsan saat mengunjungi Republika, Jumat (19/10). 

Dia juga menyarankan, LPPOM  MUI dapat tetap menjalankan tugasnya hingga BPJPH mulai difungsikan. Hal ini dilakukan untuk menghalau keraguan produsen yang ingin mengajukan permohonan sertifikasi halal. 

Ikhsan juga mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) atau mengamandemen pasal 65 UU JPH sebagai Peraturan Pelaksana, jika memang pengesahan PP JPH belum dapat terealisasi dalam jangka waktu dekat. Dia juga menekankan, bahwa jaminan kehalalan suatu produk adalah hak setiap masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. 

“Halal itu hak masyarakat dan itu jelas menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara,” katanya. 

Dia meyakini, dengan mengubah sistem sertifikasi halal dari sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandaroty) dapat membawa pengaruh pada perkembangan jaminan produk halal di Indonesia. 

“Dengan mewajibkan sertifikasi halal, maka setiap produsen mau tidak mau harus mencantumkan sertfikat halal pada setiap produk mereka,” lanjut dia. 

Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena Gunawan juga mengaku sangat menyayangkan sikap pemerintah yang tidak peduli dengan program penggarapan produk halal yang selama ini diperjuangkan LPPOM MUI sendiri. “Kami sebenarnya malu dengan negara lain, padahal kita pionirnya (Jaminan Produk Halal), tapi malah kita yang tertinggal dengan negara minoritas Muslim, negara saya kira juga tidak care dengan program ini,” kata Osmena saat mengunjungi Republika, Jumat (19/10). 

Padahal, lanjut dia, selama ini LPPOM MUI telah dipercaya dan diyakini oleh banyak negara untuk meneliti kehalalan produk, mengingat LPPOM MUI telah memenuhi standar ISO 17065 yang merupakan Penilaian Kesesuaian – Persyaratan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk, Barang dan Jasa yang diakui dunia. 

Dia juga mengaku, masih meragukan keseriusan pemerintah dalam mengurus program penegakkan produk halal, mengingat belum rangkumnya Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal (PP JPH) meski telah mangkir bertahun-tahun. Dia juga menganggap, dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih belum dapat menjamin apapun. 

“PP JPH sampai saat ini belum juga disahkan padahal batasnya 2019. Adanya BPJPH dan rencana pendirian LPH di kampus-kampus juga sampai saat ini masih belum ada kejelasan,” ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement