REPUBLIKA.CO.ID, Seringkali orang tua yang tengah menggendong bayinya tiba-tiba terkena air seni si bayi. Tentu, ini bagi sebagian orang cukup merepotkan karena kebutuhan bayi atas dekapan orang tua pada masa awal sangatlah kuat. Lantas, bagaimanakah sebetulnya hukum air seni bayi dan cara mensucikannya?
Jawaban atas pertanyaan tersebu, disampaikan oleh Syekh Ahmad at-Thayib, Grand Syekh al-Azhar Mesir, dalam situs resmi Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, tidak ada perbedaan air seni bayi laki atau perempuan, baik pada masa menyusui atau setelah masa lepas ASI. Tetap saja air seni tersebut najis dan bagian yang terkena najis tersebut wajib disucikan. (al-Mudawwanah al-Kubra: 75/1).
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, air seni bayi laki-laki tidak najis selama masa ASI murni dan belum mengonsumsi makanan selain AS. Jika air seninya itu terkena baju, maka cara mensucikannya cukup dengan percikan air di atas bagian yang terkena tadi. Tanpa harus dicuci, dikucek, atau diperas.
Masih menurut Mazhab Syafi’i, air seni bayi yang sudah lepas ASI sama dengan pria dewasa. Sementara, khusus bayi perempuan, air seninya hukumnya najis baik sebelum atau sesudah masa menyusui, karena itu wajib dicuci sebagaimana mensucikan barang terkena najis lainnya (at-Tamhid: 109/9, al-Istidzkar: 356/1).
Pendapat ini juga merupakan pendapat yang populer dalam Mazhab Hanbali. Mayoritas ulama berbeda pendapat dengan kedua Mazhab tersebut, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hanbali yang membedakan masa si bayi.
Mereka yang membedakan usia berdasarkan masa menyusui, merujuk argumentasi mereka pada hadis Ummu Qais binti Muhshin yang dinukilkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Dalam hadis tersebut dijelaskan, Rasulullah SAW pernah menggendong anaknya Ummu Qais, dan secara tidak sengaja buang air kecil di pangkuan Rasulullah. Rasul meminta air lalu memercikkannya, tanpa menyuci.