Jumat 19 Oct 2018 02:22 WIB

Etika Menghadiri Majelis

Tuntunan perihal majelis bukti keluhuran Islam.

Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama
Foto:

Namun demikian, ketentuan tersebut bukan berarti harga mutlak. Artinya, bila seseorang dengan sukarela memberikan tempat duduknya, ini akan sangat mulia.

Sikap lapang dada itu pernah ditunjukkan Ali bin Abi Thalib. Suami Fatimah tersebut lebih dulu duduk di samping Rasul. Saat melihat Abu Bakar datang, menantu Rasulullah ini bergegas berdiri dan mempersilakan Abu Bakar menempati tempat duduk Ali.

Sikap yang diteladankan Ali itu justru menunjukkan kedewasaan dan budi pekerti yang luhur. Rasulullah pun berkomentar melihat aksi dua sahabat kesayangannya itu. “Tidak bisa mengatuhi keutamaan, kecuali orang yang istimewa pula,” titah Rasul.

Ratib juga menegaskan, tak jarang sebuah majelis dihentikan untuk menyambut tokoh atau tamu penting yang datang. Hal ini tidak perlu dilakukan. Karena sesuai dengan kaidah, tak ada kata itsar dalam kamus kebaikan. Tetap saja majelis berlangsung,  persilakan dan percayakan orang lain  untuk penyambutan.

Dalam ayat tersebut juga, Ratib menambahkan, dijelaskan soal etika bubar dari majelis. Yakni, bila majelis selesai, jangan memaksakan diri untuk tetap “menahan” tokoh yang bersangkutan hingga berlarut-larut. Tindakan tersebut bisa memberikan kesan tak nyaman. Ini pula yang ditekan oleh Rasul, seperti yang tertuang dalam ayat QS al-Mujadilah [58]: 11, “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah.”

Syekh Ratib menegaskan, jangan sesekali membuat daftar posisi tempat duduk berdasarkan status sosial atau jabatan. Kehormatan seseorang, menurut Islam, bukan diukur atas jabatan, harta, atau status social, melainkan dilihat dari kadar keimanan, ilmu, dan konsistensi amal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement