Rabu 17 Oct 2018 17:23 WIB

Islam di Gambia, Jasa Para Pedagang

Islam masuk ke wilayah itu melalui para pedagang Arab dan Berber dari Mauritania.

Muslim Gambia.
Foto: IST
Muslim Gambia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gambia. Negara berpenduduk mayoritas Muslim itu terbentang di sisi barat Benua Afrika. Jika melihat dari peta dunia, bentuk negara berpenduduk 1,7 juta jiwa itu semacam sodetan di negara Senegal. Luas wilayahnya hanya 10.500 kilometer persegi dan di bagian tengahnya mengalir Sungai Gambia.

Gambia merupakan satu negara yang unik di kawasan Afrika Barat. Meski terhitung sebagai negara kecil, Gambia pernah dijajah banyak negara, mulai dari Portugal, Belanda, Jerman, Prancis, hingga Inggris. Negara itu baru memperoleh kemerdekan dari Inggris pada 18 Februari 1965.

Negara itu sangat mengandalkan sektor pariwisata. Para pelancong dari Amerika Serikat dan Eropa sangat menyukai objek-objek wisata yang tersebar di Gambia. Seperti, Stone Circle di Kerr Batch, Wassu yang sering disebut-sebut mirip dengan piramida di Mesir, dan sederet pantai-pantai indah (Bakau, Fajara, Kotu, dan Kololi).

Pariwista menjadi pendorong utama masuknya devisa negara karena Gambia tidak memiliki mineral atau sumber daya alam penting. Lahan pertaniannya pun sangat terbatas. Namun, 75 persen penduduknya berpenghasilan melalui panen padi dan hasil peternakan.

Di balik itu semua, satu hal yang harus dicatat dari negara yang mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa resminya ini, sekitar 90 persen penduduknya merupakan pemeluk agama Islam. Meskipun menjadi agama mayoritas, masyarakatnya masih melakukan beberapa praktik keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Islam masuk ke wilayah itu melalui para pedagang Arab dan Berber dari Mauritania. Sebelum Islam datang, masyarakat Gambia masih menganut kepercayaan animisme. Mereka menyembah leluhur dan sebuah kekuatan besar (Tuhan) yang direpresentasikan pada berbagai elemen alam, seperti dewa bumi dan dewa para binatang.

Pada abad XV, para ulama sangat dekat dengan kepala-kepala suku di wilayah Gambia. Ketua suku yang memang baru saja belajar agama Islam memberi para ulama jabatan dalam sistem pemerintahan kesukuan mereka—semacam sekretaris bagi para ketua suku. Kemudian, sebagai imbalan atas kerja para ulama itu, mereka diizinkan untuk mendirikan desa mereka sendiri di wilayah suku tersebut.

Fenomena itu terus berkembang hingga abad XVII. Tak heran jika desa-desa Muslim menjadi semakin banyak di pesisir Sungai Gambia itu. Komunitas Muslim di desa-desa itu kemudian mulai mendirikan semacam pesantren, menyarankan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan, dan meminta untuk tidak memakan daging haram kepada masyarakat Gambia.

Cara dakwah seperti itu ternyata membuahkan hasil, meskipun pada awal masuknya Islam di Gambia dimulai dari para ketua sukunya. Dalam perkembangannya, para petani mulai memeluk agama Islam secara sukarela.

Saat ini, seperti juga Islam di Senegal, pemeluk Islam di Gambia adalah beraliran Suni. Sebagian besar di antara mereka menganut paham sufi. Salah seorang pemimpin sufi yang paling disegani di Gambia adalah Syekh Ibrahim Aladji Gassama Djabi.

Guru sufi yang lahir pada 11 Apil 1949 itu merupakan putra dari Syekh Karamba Gassama Djabi, yang juga merupakan tokoh sufi yang terkenal di negara kecil tersebut. Pada era modern ini, tokoh-tokoh sufi memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam.

Para penganut sufi baik yang barasal dari aliran Qadiriyah maupun Tijaniyah itu juga menjadi motor penggerak dalam perjuangan rakyat Gambia untuk memperoleh kemerdekaannya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement