REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muqorabin
Manusia diciptakan oleh Allah SWT bukanlah tanpa rencana dan tujuan. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku." (QS adz-Dzariyat : 56). Mengacu pada ayat tersebut, posisi manusia di hadapan Allah SWT bagaikan "hamba" dengan "majikan" atau "abdi" dengan "raja" dalam kepatuhan secara mutlak.
Selanjutnya, setiap orang melakukan ibadah dengan maksud untuk mendapatkan keridhaan, kemuliaan, dan pahala dari Allah SWT. Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam mengatakan bahwa hakikat orang yang melakukan ibadah pasti mempunyai pengharapan kepada Allah SWT. Karena itu, jangan sampai orang beramal ibadah bergantung pada amal ibadahnya karena hakikatnya yang mengetahui diterima atau tidaknya amal ibadah itu hanya Allah SWT.
Islam sebagai agama yang berprinsip pada nilai-nilai totalitas dalam kehidupan mengajarkan dan memperingatkan secara tegas kepada umatnya, agar dalam beribadah seseorang selalu menjaga nilai kesempurnaannya dengan meluruskan niat dan menghindarkan dari unsur-unsur kepentingan duniawi yang dapat merusak kualitas ibadah tersebut. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS Muhammad: 33).
Begitu pentingnya menjaga kesempurnaan nilai ibadah agar mendapatkan keridhaan di hadapan Allah SWT, dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW memberikan pelajaran kepada umatnya tentang ahli ibadah yang justru menjadi "bangkrut" dan balasannya dimasukkan ke dalam neraka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, "Tahukah kamu orang yang pailit (bangkrut) itu?" Para sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut di antara kami ialah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya barang-barang."
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat lengkap dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, tetapi disamping itu ia telah mencaci ini, menuduh itu, memakan hartanya ini, menumpahkan darah itu dan memukul ini. Lalu, diberikanlah kepada si ini dari (pahala) kebaikan amalnya dan diberikan kepada si itu dari (pahala) kebaikan amalnya. Dan apabila telah habis (pahala) kebaikannya, padahal belum terbayar semua tuntutan orang lain kepadanya, maka diambillah dari dosa-dosanya orang yang pernah dianiaya itu lalu ditanggungkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke neraka." (HR Muslim).
Pesan bermakna yang sangat kuat dalam hadis tersebut bahwa ternyata titik tekan dalam ibadah tidak hanya pada aspek lurusnya niat, keikhlasan, dan kuantitas ibadah yang dilakukan seseorang saja. Akan tetapi, dalam kesempurnaan nilai ibadah juga menitikberatkan pada dampak dari ibadah itu sendiri yakni amal kebaikan secara sosial dengan sesama orang lain tanpa memandang latar belakang perbedaan asal usul sosialnya.
Orang yang ahli ibadah, tetapi di satu sisi juga terbiasa melakukan perbuatan zalim, menghina, mencaci orang lain dengan kata-kata kasar, menuduh tanpa bukti, suka menyebar hoaks, korupsi dan menyakiti fisik orang lain, maka semua kebaikan ibadahnya akan menjadi sia-sia dan tak bernilai alias "bangkrut" di hadapan Allah SWT. Dalam kondisi seperti itu, seluruh pahala ibadah seseorang menjadi gugur di hadapan Allah SWT. Karena itu, sudah saatnya perilaku negatif dalam kehidupan sosial sehari-hari agar dihindarkan dengan mutlak demi tercapainya kesempurnaan nilai-nilai ibadah kita di hadapan Allah SWT. Wallahua'lam bisshawab.