Kamis 11 Oct 2018 16:06 WIB

Ini Cerita Gus Dur Bolos Semasa Jadi Santri

Gus Dur kecil harus mengumpulkan uang terlebih dulu jika ingin ke luar pondok,

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Malam Kebudayaan Pesantren di Panggung Krapyak, Kabupaten Bantul,  DIY, Rabu (10/10).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Malam Kebudayaan Pesantren di Panggung Krapyak, Kabupaten Bantul, DIY, Rabu (10/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Putri Presiden Indonesia (alm) KH Abdurrahman Wahid, Inaya Wahid, jadi salah satu penampil di Malam Kebudayaan Pesantren di Panggung Krapyak. Pada kesempatan itu, Inaya sempat membagikan cerita kenakalan Gus Dur saat masih menjadi santri.

Walau didaulat untuk membacakan puisi, Inaya yang tampak cair di atas panggung memulai aksinya berinteraksi dengan santri-santri. Ia mengatakan, ada satu perbedaan dari santri zaman dulu dan zaman sekarang.

Menurut Inaya, perbedaan itu salah satunya terdapat saat santri-santri mencari hiburan. Apalagi, saat ini teknologi begitu maju, yang memudahkan santri zaman sekarang untuk mencari hiburan.

 

Mengenang cerita sang ayah, Inaya menuturkan, Gus Dur kecil jika ingin mencari hiburan harus membolos atau bersembunyi dari aktivitas pondok. Gus Dur kecil harus mengumpulkan uang terlebih dulu jika ingin ke luar pondok.

"Setelah berhasil mengumpulkan uang setelah berpekan-pekan tidak makan, baru kabur, jauh dari pondok, tak ada yang melihat, memakai celana (bukan sarung), jadi orang biasa," kata Inaya, Rabu (10/10) malam.

Bersama seorang teman, Abdurrahman mencegat becak untuk menuju salah satu bioskop, demi bisa menonton sebuah film. Apesnya, tukang becak yang mereka berhentikan tidak mau ditawar dan memasang tarif tinggi.

Duit yang pas-pasan membuat Abdurrahman harus patungan dengan teman pondoknya untuk bisa membayar becak. Setelah itu, barulah dia bersama temannya berhasil sampai ke bioskop untuk menonton film.

Kala itu, bioskop dibagi menjadi tiga kelas. Kelas satu memiliki bangku yang paling bagus, kelas dua dengan bangku yang biasa, sedangkan kelas tiga harus duduk di lantai seperti menonton layar tancap.

"Karena uang sudah habis patungan becak, mereka beli tiket kelas tiga, waktu itu nonton film India, judulnya Nagin, isinya (ceritanya) ular saja," ujar Inaya.

Sepanjang pemutaran film, ada sosok penonton yang dirasa menggaggu Abdurrahman dan berada di bangku atas atau yang kursinya paling bagus. Pasalnya, penonton itu selalu tertawa dengan suara yang keras.

Namun, Abdurrahman yang jengkel tidak bisa melihat siapa sosok penonton itu. Saat film habis dan lampu dinyalakan, begitu kagetnya Gus Dur yang mengetahui sosok penonton berisik dari kelas satu tersebut.

"Ternyata si tukang becak, jadi dia bisa beli tiket bioskop kelas satu karena tarif tinggi hasil patungan bapak dan temannya," kata Inaya.

Sebelum membawakan puisi berjudul Kiaiku, Inaya turut mengingatkan bagaimana kemudahan santri-santri kini mendapat hiburan bisa membawa tindakan yang tidak baik. Tindakan itu tidak lain menghujat.

Inaya merasa, selama ini tidak sedikit orang-orang yang baru mengenal agama, langsung melancarkan hujatan-hujatan. Dia sendiri mengaku, belum lama ini, sempat mendapat hujatan di media sosial.

Hujatan itu datang usai Inaya membuat status tertentu, dan dikomentari malah dengan kata-kata tidak pantas. Tapi, sambil bercanda, Inaya menanggapi hujatan itu sambil menekankan bagaimana media sosial tidak boleh digunakan sembarang.

"Gini ni kalau aqua galon dikasih nyawa, ya saya tersinggung, wong jelas saya kulkas dua pintu dibilang aqua galon," ujar Inaya dengan gaya santai khasnya.

Dari sana, ia mengingatkan, santri-santri harus bisa memanfaatkan kemudahan teknologi yang didapatkan sekarang. Menurut Inaya, jangan sampai teknologi yang ada malah digunakan untuk tindakan-tindakan tidak bermanfaat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement