REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar tahun 800 M, khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, yakni Khalifah Harun al-Rashid pernah menerima hadiah berupa kerajinan tembikar Cina, yang merupakan cikal bakal lahirnya porselen Cina yang kondang itu.
Terpesona dengan tembikar Cina itu, para pengrajin tembikar di Baghdad pun berupaya meniru. Pada abad kesembilan, mereka mulai membuat tembikar glasir berbahan timah.
Dalam teknik ini, tembikar bening ditutupi dengan larutan cairan timah glasir yang membentuk lapisan putih yang mengilat. Saat dihias dengan lukisan, warna-warna akan meleleh ke dalam glasir dan tetap menjadi bening. Teknik ini berbeda dengan yang digunakan Turki Utsmani dalam membuat tembikar.
Tembikar glasir bening atau tembikar halus berlapis timah itu dengan cepat menyebar dari Irak ke Iran, juga ke Mesir.Bahkan, tersebar juga ke Afrika Utara dan ke Spanyol.
Tembikar timah itu juga dikenal di Italia pada abad pertengahan, bahkan menjadi media penting seni Renaisans.Di zaman pencerahan itu, tembikar timah dikenal dengan nama maiolica.
Para pengrajin Italia kemudian mengembangkan kerajinan itu di Kota Antwerp, Belgia. Namun, pada tahun 1576, banyak dari mereka yang pindah ke Belanda.
Porselen ini populer di kalangan orang kaya dan berada di luar jangkauan banyak orang.Eropa sepertinya tidak merespons hal ini sampai 1710-an.Sementara, ada permintaan besar untuk produk-produk tembikar timah buatan lokal yang lebih murah, namun mirip dengan tembikar buatan Cina.
Ada banyak pusat perdagangan produk ini, tapi Kota Delft di Belanda adalah yang paling terkenal. Barang-barang itu diekspor secara luas, termasuk ke India, Asia Tenggara, dan Amerika Utara.