REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Imam Shamsi Ali*
Kita kemudian sadari bahwa Islamophobia adalah sebuah fenomena alami dalam proses hidup dan kematangan iman. Bahkan menjadi mesin penggerak laju pergerakan dakwah itu sendiri. Dengan tantangan akan terbuka peluang luas bagi perkembangan dakwah itu sendiri.
Mungkin contoh terdekat dalam sejarah harum baginda Rasulullah SAW adalah boikot terhadap keluarga beliau Bani Hasyim dan meninggalnya dua orang terdekatnya, Khadijah dan Abu Thalib. Ternyata boikot itu membawa hasil positif yang luar biasa. Allah mengangkat beliau ke Sidaratul Muntaha untuk berkomunikasi langsung dan menerima hadiah terbesarnya, sholat.
Dan segera setelah itu kemenangan kolektif umat terbuka, yang dimulai dengan hijrah. Karena memang hijrah sejatinya adalah awal kebangkitan umat secara jamaah (kolektif). Madinah adalah tempat didirikannya peradaban yang kemudian menyebar ke seluruh pelosok Arab dan dunia.
Karenanya pertanyaan besar sebenarnya adalah bagaimana menghadapi Islamophobia sehingga tidak mengorbankan (victimizing) umat. Sebaliknya justeru mampu termaksimalkan untuk kemajuan dan perkembanhan dakwah itu sendiri.
Pertama, jadikan Allah sebagai pegangan.
Kerap kali kita menyaksikan orang-orang mengaku memperjuangkan Islam dan kebenaran. Tapi pada dirinya sendiri Islam dan kebenaran itu dipegangi setengah hati. Mengaku memperjuangkan agama Allah. Tapi Allah dan agamaNya sekadar hiasan dan slogan murah.
Mungkin itulah salah satu rahasianya kenapa keimanan dan perjuangan keimanan itu terukur dengan tantangan yang dihadapi. Semakin tinggi nilai keimanan seseorang kemungkinan besar akan semakin besar pula tantangan yang dihadapinya.
“Akankah kalian merasa masuk syurga padahal Allah belum melihat siapa di antara kalian yang berjuang dan siapa di antara kalian yang sungguh-sungguh bersabar” (Alquran).
Karenanya menghadapi intensitas Islamophobia dan sentimen anti Islam, hal yang terpenting yang perlu dijadikan dasar pijakan adalah “Allah”.
Dalam keimanan Allah adalah pegangan terkuat. Pegangan yang dikenal dengan “al-urwah al-wutsqa”. Sebuah pegangan yang tidak akan goncang apalagi roboh hanya karena perubahan keadaan.
Sejatinya memang perjalanan hidup seorang Muslim, apalagi seorang da’i dan pejuang, Allah selalu mengitari setiap langkah kakinya. Dari Allah, bersama Allah, untuk Allah, menuju Allah.
Dengan Allah seorang da’i menjadi kuat. Tanpa Allah seorang dai menjadi lemah dan labil. Dengan Allah tantangan menjadi kecil dan ringan. Tanpa Allah sekecil apapun tantangan akan berat dan mengantar kepada kegagalan.
Kedua, pemahaman agama yang solid
Hal yang aneh terkadang adalah ketika seseorang mengaku atau diakui sebagai “pejuang” Islam, tapi pemahamannya tentang Islam sangat minim. Akibatnya seringkali yang dikedepankan adalah sisi “emosional”.
Keadaan ini juga biasanya berakibat fatal. Reaksi terhadap masalah yang dihadapi menjadi labil dan sering dilandasi emosi yang mengesampingkan rasionalitas. Akibatnya orang lain menuduh Islam sebagai agama yang emosional dan amarah.
Di sinilah urgensi memahami Islam secara benar. Islam bukan sekedar tatanan “perintah dan larangan”. Islam juga menyangkut isu pemikiran dan mentalitas. Dan yang terpenting adalah karakter kemanusiaan itu sendiri.
Menghadapi Islamophobia harus dengan jalan Islam itu sendiri. Jalan yang mengedepankan rasionalitas, keseimbangan, pertimbangan maslahah ‘aammah (kepentingan luas). Bukan dengan pendekatan ego dan kepentingan sempit. Apalagi dengan emosi dan karakter destruktif.
Ketiga, jadikan Rasulullah sebagai Role model
Dalam segala prilakunya Muslim harusnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai “role model” atau contoh tauladan. Tentu tidak terkecuali, bahkan lebih utama lagi, ketika kita berinteraksi dengan dunia dakwah.
Bagaimana beliau menyampaikan Islam? Bahkan bagaimana beliau menghadapi kesalah pahaman dan kebencian orang-orang sekitarnya?
Yang pasti beliau selalu mengedepankan akhlak karimah (karakter mulia). Beliau imbang dalam segala hal. Beliau mengedepankan hati dan akal sehat. Beliau santun dalam kata dan karakter.
Sebuah cerita yang saya ulang-ulangi yang terjadi pasca 9/11 di kota New York. Ketika itu saya membuka kelas khusus non Muslim di Islamic Center New York. Suatu ketika datanglah seorang warga putih Amerika, berumur sekitar 50 tahun.
Di depan pintu kelas dia hanya teriak-teriak memaki, mengutuk, sambil mengacungkan telunjuk ke saya. Saya dengarkan dan diam. Dia kemudian meninggalkan dengan sendirinya.
Saya keluar dari kelas dan memanggilnya. “Sir, can we just shake hand?”?
Ternyata dia mau balik dan jabat tangan dengan saya. Saya tersenyum semanis mungkin kepadanya sambil menjabat tangannya.
Singkat cerita, minggu depannya sang pria itu datang lagi. Saya yang rasanya tidak tahan ingin tahu kenapa dia datang lagi. Dan kali ini tidak lagi marah. Tapi duduk dan mendengarkan presentasi saya tentang Islam.
Ternyata menurut dia, dia datang karena dalam beberapa hari terakhir dia kurang tidur. Alasannya karena merasa bersalah telah salah paham dengan Islam dan Rasulullah SAW.
Dia mengaku bahwa keinginan saya berjabat tangan dan tersenyum kepadanya minggu sebelumnya, walau dia telah bersikap sangat jahat kepada Rasulullah menjadikannya merasa bersalah dan tidak bisa tidur.
Singkat cerita, teman kita ini belajar Islam sekitar 6 bulan dan masuk Islam. Kini teman kita yang bernama Mark ini sering membuka meja di stasiun subway untuk membagi-bagi informasi tentang Islam ke warga Amerika.
Itulah karakter dan ketauladanan Rasulullah SAW dalam menyikapi permusuhan orang sekitarnya, yang kemungkinan besar memang tidak tahu. Dan ini pulalah harusnya menjadi ketauladanan kita dalam menyikapi Islamophobia di Amerika dan dunia Barat.
Keempat, konsisten dalam edukasi
“Al-hayaatu jihaadun”. Bahwa hidup itu adalah perjuangan.
Demikian titah baginda Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa hidup seorang Mukmin itu memang dalam perjuangan. Semua hal dalam hidup dilakukannya secara sungguh-sungguh dan “positive result oriented” (berorientasi hasil positif).
Menyikapi Islamophobia pun memerlukan perjuangan panjang. Apalagi Islamophobia menyangkut persepsi, bahkan boleh jadi merupakan fenomena kejiwaan. Dan kedua hal itu, persepsi dan mentalitas, untuk merubahnya bukan hal yang mudah.
Sebuah gereja yang terletak tidak jauh dari Masjid Al-Hikmah, Masjid milik warga Indonesia di kota New York. Gereja itu bernama Sannyside Church. Sekitar tahun 1998, kami sudah memulai dialog dengan mereka.
Awalnya memang tidak mudah. Tapi saya ketika itu berkali-kali mendekati pendetanya, keturunan Puerto Rica, dan mengajaknya melakukan dialog antar komunitas. Ternyata pendekatan yang memakan waktu yang cukup lama itu merubah persepsinya tentang Islam.
Sang Pendeta ketika itu jujur. Belum pernah ketemu dengan orang Islam. Apalagi mendatangi Masjid. Tapi belakangan sang Pendeta membawa jamaahnya mengunjungi Masjid Al-Hikmah.
Demikianlah kiranya usaha merubah persepsi tetangga-tetangga itu memerlukan persistensi atau usaha yang bersifat sustainable (berkesinambungan). Karenanya usaha ini tidak cukup dengan tablig akbar-tablig akbar jutaan orang.
Seorang Muslim dituntut melakukan edukasi terhadap tetangganya terus menerus. Bukan hanya dengan kata-kata. Tapi dengan prilaku, bahkan dengan sekedar senyuman sekalipun. Insya Allah dalam perjalanan masa persepsi tetangga akan merubah.
Kelima, tampilkan kesuksesan dengan tawadhu’
Salah satu alasan kekhawatiran atau ketakutan orang Amerika terhadap Islam adalah realita bahwa mayoritas dunia Islam masih terbelakang dalam banyak hal. Sayangnya keterbelakngan ini mempenharuhi cara pandang mereka terhadap Islam. Seolah kemiskinan dan kebodohan itu dikarenakan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Di sinilah pentingnya orang-orang Islam yang berhasil dalam segala bidang, harus menampakkan diri sebagai orang-orang sukses dan Muslim yang bangga dengan Islamnya.
Sayang, di dunia Barat secara umum dan dalam ragam bidang, banyak orang Islam yang berhasil. Tapi hampir tidak ada di antara mereka yang menampilkan diri sebagai Muslim.
Ambillah sebagai misal beberapa perusahaan besar dan terkenal di dunia. e-Bay misalnya didirikan oleh seorang Muslim asal Iran.
Pendiri YouTube itu dua orang (co founders). Salah satunya adalah orang Islam asal Bangladesh bernama Javed Karim.
Chairman dari Twitter itu adalah orang Islam. CEO Coca-Cola juga orang Islam bernama Mukhtar Kant asal Turki.
Bahkan sekitar 4 tahun lalu saya diundang oleh Russell Simmons ke rumahnya di kawasan Hollywood di LÀ untuk ketemu dengan beberapa bintang film yang beragama Islam.
Sangat disayangkan betapa banyak di antara mereka justeru melihat Islam sebagai agama yang tidak lagi relevan dengan kemajuan dunia modern. Mereka bahkan agak risih untuk dikenal sebagai Muslim, apalagi sebagai Muslim taat (practicing Muslims).
Padahal kalau saja mereka yang berhasil secara dunia itu menampilkan diri dan bangga dengan Islamnya sungguh akan merubah pandangan orang lain yang salah melihat Islam sebagai sumber keterbelakangan.
Keenam, Public engagement
Salah satu cara paling efektif untuk mengubah Islamophobia adalah melibatkan diri dalam kehidupan publik di semua sektor kehidupan. Karenanya Muslim harus mengambil bagian, tanpa hanyut, dalam kehidupan khalayak ramai (publik).
Untuk merubah pandangan yang mengatakan bahwa Islam itu agama yang tidak tahu membangun kerja sama, bahka menimbulkan konflik di mana-mana, umat harus mampu mengambil bagian dalam ragam aspek kehdupan publik. Dalam bidang ekonomi, pendidikan, kultur dan lain-lain.
Dari semua itu, untuk konteks Amerika dan Barat saat ini, ada tiga aspek yang mendesak partisipasi atau keterlibatan umat. Yaitu politik, media dan komunitas.
Bahwa umat dituntut untuk ikut mengambil bagian dalam proses demokrasi. Minimal mampu memberikan suara kepada kandidat yang dianggap dapat mewakili aspirasi umat. Minimal kandidat yang tidak terlalu anti Islam.
Umat juga dituntut untuk terlibat dalam mempengaruhi arus media. Media adalah salah satu pilar kekuatan dunia modern saat ini. Menentukan wajah dunia. Karenanya umat minimal belajar untuk berinteraksi dengan media. Hingga suatu saat nanti umat memiliki medianya sendiri.
Demikian pula dalam kehidupan sosial. Umat dituntut untuk menjadi bagian. Umat harus mengambil bagian dan memainkan peranan dalam membentuk warna masyarakat. Contoh kecil alangkah bahwa komunitas Muslim dituntut untuk mengambil bagian dalam “Parent-Teacher Association” di sekolah anak-anak mereka.
Keterlibatan dalam kehiudpan publik itu, khususnya di tiga dimensi tadi akan banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat Amerika dan Barat. Dan dengan sendirinya phobia terhadap Islam akan berkurang.
Ketujuh, tetap penuh harap dan optimisme
Putus harapan itu tidak ada kamusnya dalam iman. Sehingga sebesar apapun tantangan hidup, termasuk Islamophobia, harapan harus selalu besar.
“Keep your heads up” (angkat kepalamu)!
Ungkapan ini bukan keangkuhan. Tapi sebuah seruan untuk selalu optimis dalam melangkahkan kaki kehidupan. Bahwa seberat apapun rintangan, sinar itu selalu ada di ujung terowongan (shining light at the end of the tunnel).
Satu contoh yang selalu saya ulangi adalah betapa peristiwa 9/11 banyak disangka sebagai “kuburan Islam” di Amerika. Tanpa ada tendensi membenarkan tindakan yang tidak manusiawi itu, kenyataannya peristiwa itu justeru menjadi awal momentum kebangkitan dakwah dan Islam di Amerika.
Perkiraan bahw tidak akan ada orang Amerika yang akan senang dengan Islam lagi, berbalik realita. Justeru setelah peristiwa itu dan di saat Islam dituduh sebagai inspirasi teror, orang-orang Amerika berbondong-bondong mencari tahu bahkan memeluk Islam.
Oleh karena itu menghadapi intensitas Islamophobia saat ini, optimisme dan harapan harus selalu terbangun dengan solid. Bahwa pada akhirnya Allah tidak akan pernah menelantarkan agamaNya.
“Mereka ingin menghentikan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka. Tapi Allah akan menyempurnakan cahayaNya kendati mereka tidak senang” (As-shof).
Itu adalah garansi Allah. Pada sisi kita sesungguhnya hanya menjalanan tugas (dakwah). Selebihnya Allah yang menetukan kesuksesan dan kemenangan itu.
Tapi bagaimana cara menjalankan tugas itu? Apa-apa saja yang harus menjadi konsideran utama dalam menjalan tugas dakwah tersebut?
New York, 6 Oktober 2018
* Presiden Nusantara Foundation