Jumat 05 Oct 2018 16:00 WIB

Kekuatan Istighfar

Iringi Istighfar dengan perbuatan baik.

Umat muslim membaca Alquran di Masjid Zaenab Lat Jinta, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (1/6). Umat muslim meningkatkan ibadah pada bulan suci Ramadan 1438 H dengan membaca Alquran (tadarus), salat berjamaah, berdoa dan dzikir di masjid.
Foto: Jojon/Antara
Umat muslim membaca Alquran di Masjid Zaenab Lat Jinta, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (1/6). Umat muslim meningkatkan ibadah pada bulan suci Ramadan 1438 H dengan membaca Alquran (tadarus), salat berjamaah, berdoa dan dzikir di masjid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istighfar berasal dari kata gafr yang berarti tutupan atau ampunan. Seorang yang beristighfar berarti memohon kepada Allah SWT agar dosa-dosanya yang telah lalu diampuni dan ditutupi Allah.

Pakar leksikografi Islam dan ilmu kalam, Ali bin Muhammad as-Sayyid as-Sarif Jurjani, mengatakan, maghfirah berarti penutupan atau pengampunan yang dilakukan oleh Yang Mahakuasa terhadap kejahatan yang timbul dari seseorang yang berada di bawah kekuasaan-Nya.

Rasulullah SAW sendiri sangat banyak menganjurkan untuk memohon ampunan Allah SWT di samping Rasul sendiri senantiasa memberikan teladan dengan banyak beristighfar.

Ibnu Qayyim Jauziah mengisyaratkan, makna ampunan itu amat luas, bukan hanya sekadar untuk menghapuskan dosa, melainkan juga sebagai pemelihara manusia dari dosa. Hal ini merujuk pada hadis yang menjelaskan Rasulullah beristighfar 70 kali dalam riwayat Bukhari. Sementara, dalam riwayat Muslim 100 kali, meski pribadi Rasulullah maksum dari dosa.

Bertolak dari pandangan di atas, Ibnu Qayyim Jauziah ketika membicarakan masalah tobat, mengisyaratkan bahwa maghfirah bukan hanya mempunyai satu bentuk, melainkan memiliki beberapa bentuk dan tingkatan, di antaranya adalah: (1) maghfirah sebagai pengampunan dosa; (2) maghfirah sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dan rahmat Allah SWT; (3) maghfirah sebagai sarana untuk mendapatkan ridha Allah SWT; dan (4) maghfirah sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT.

Memohon ampun

Jika kita telanjur melakukan perbuatan dosa besar, ada empat hal yang harus dilakukan dalam pertobatan. Pertama, meninggalkan perbuatan maksiat. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan. Ketiga, berniat tidak akan kembali melakukan maksiat pada masa yang akan datang untuk selama-lamanya. Keempat, jika dosa besar yang dilakukan seseorang terkait dengan hak-hak manusia (huquq adam), ia harus mengembalikan hak orang lain tersebut.

Jika dalam perbuatan dosanya terdapat hak-hak Allah SWT (huquq Allah), ia harus menunaikan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan Islam. Misalnya, seseorang yang melakukan dosa zina, ia harus menjalani hukuman, yakni didera sebanyak seratus kali. Dan jika pelaku zina itu orang yang sudah menikah, ia harus menerima hukuman rajam.

Dengan terlaksananya hukuman tersebut, barulah dosanya akan diampuni Allah SWT. Di dalam hadis yang diriwayatkan dari Imran bin Husain disebutkan, “Bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah yang sedang hamil karena berzina telah datang kepada Nabi Muhammad SAW sembari berkata, 'Hai Nabi Allah, saya harus menjalani hukuman (karena zina), maka lakukanlah hukuman itu atasku.'

Rasulullah SAW mengimbau walinya sambil berkata, 'Berlaku baiklah kepadanya. Apabila dia telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.' Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan agar pakaiannya diperketat, lalu beliau memerintahkan merajamnya, dan beliau melakukan salat jenazah atas (mayat)-nya.

Umar binKhattab bertanya, 'Mengapa engkau melakukan salat jenazah atasnya Hai Rasulullah, bukankah ia telah berzina?' Rasulullah SAW menjawab, 'Dia telah bertobat dengan suatu tobat, yang seandainya dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya mereka akan diliputinya. Dan, apakah engkau mendapatkan yang lebih baik daripada orang yang menyerahkan dirinya untuk Allah?’” (HR Muslim).

Dalam mengomentari hadis ini, Muhammad bin Isma'il Kahlani as-San'ani mengatakan, hadis ini menjadi dalil bahwa tobat tidak menghilangkan kewajiban menerima hukuman. Inilah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat dalam Mazhab Syafii’i dan ini pula pendapat jumhur ulama.

Berkenaan dengan cara meminta ampun bagi pelaku dosa kecil, orang yang lalai dalam mematuhi perintah Allah SWT atau orang yang tidak peduli terhadap amal-amal utama tidak berbeda dengan cara meminta ampun bagi pelaku dosa besar. Hanya saja, pelaku dosa kecil tidak sampai mendapatkan hukuman berat seperti pelaku dosa besar.

Di samping itu, ia juga harus melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang lain sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis. Seperti yang dianjurkan Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Tirmizi. "Iringilah kejahatan dengan kebaikan, niscaya ia (kebaikan) akan menghapuskannya (kejahatan).”

Permohonan maghfirah yang dilakukan sebagai sarana untuk mencapai ridha Allah SWT atau sebagai bukti ketaatan kepada-Nya ialah dengan cara senantiasa beristighfar sekalipun merasa tidak melakukan dosa. 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement