Ahad 16 Sep 2018 17:25 WIB

Kaidah Penanggalan Peradaban Islam

Jauh sebelum Islam muncul, bangsa Arab telah mengembangkan kaidah penanggalan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Sistem penghitungan pada kalender hijriyah menggunakan perputaran bulan. (ilustrasi)
Sistem penghitungan pada kalender hijriyah menggunakan perputaran bulan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Jauh sebelum Islam muncul, bangsa Arab telah mengembangkan kaidah penanggalan yang merujuk pada peredaran bulan. Dalam uraiannya di The Qur'an: An Encyclopedia, Tamara Sonn menyebut bahwa permulaan kalender Arab tidak begitu jelas.

Mereka cenderung mengandalkan haji sebagai patokan awal dan akhir tahun. Satu tahun berarti masa antara penyelenggaraan ritual tersebut kini dan berikutnya. Baik sebelum maupun ketika Islam mulai berkembang, bangsa Arab tidak terbiasa menamakan tahun dengan angka.

Untuk menyebut suatu tahun, mereka lebih suka mengaitkannya dengan peristiwa historis tertentu yang terjadi dalam rentang 12 bulan. Misalnya, tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut sebagai Tahun Gajah karena pada saat itu Ka'bah menjadi target serangan pasukan gajah dari Yaman.

Contoh berikutnya, tahun wafatnya paman Rasulullah SAW, Abu Thalib, dan istri nya, umm al-mu'minin Khadijah, disebut sebagai `Am al-Huzni, Tahun Duka Cita.

Kejadian itu berjarak 10 tahun sejak Nabi SAW menerima wahyu pertama atau Tahun Ke nabian. Tiga tahun kemudian, beliau SAW hijrah dari tanah kelahirannya, Mak kah, ke Yastrib (Madinah). Dimulailah pa tokan baru dalam penanggalan tradisional Arab-Muslim.

Tahun pertama sejak hijrah dinamakan sebagai Sanat al-Idzn, Tahun Izin, lantaran kala itu umat Islam di Makkah diizinkan Allah berhijrah ke Madinah. Tahun kedua disebut sebagai Sanat al-Amr, Tahun Perintah, karena Allah mulai memerin tahkan kaum Muslimin untuk berperang demi membela diri terhadap kaum musyrikin.

Perang yang dimaksud terjadi di Badr pada 17 Ramadhan dan berakhir dengan kemenangan kubu Rasulullah SAW.

Tahun ketiga digelari Sanat at-Tamhish karena berkaitan dengan turunnya surah Ali `Imran ayat 141, Waliyumah hishallahulladziina aamanuu. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azharmenjelaskan, turun nya wahyu Allah itu berkenaan dengan kekalah an kaum Muslimin dalam Perang Uhud.

Ayat ini memberi gambaran tentang penyaringan (tamhiish). Allah SWT menyaring orang-orang yang beriman dari kaum ka fir. Maka dari itu, kaum Muslimin kembali bangkit dari duka. Sesungguhnya, Uhud bukanlah akhir perjuangan menegakkan kalimat tauhid di muka bumi.

Tahun keempat dinamakan Sanat at-Turfiah. Pada tahun ini umat Islam mulai menerima beberapa kelonggaran, seperti hukum tayamum untuk mengganti wudhu dan shalat khaufketika perang berlangsung.

Tahun kelima dikenang sebagai Sanat al-Zalzalkarena saat itu Madinah diguncang gempa bumi (al-zalzalah) dan pel bagai ujian yang menimpa kaum Muslimin, semisal, kelangkaan pangan dan Perang Parit.

Tahun keenam dinamakan Sanat al- Isti`naskarena berkaitan dengan turunnya surah an-Nur ayat 27 yang bermakna bahwa orang Mukmin dilarang memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin (tas ta`nisu) dan memberi salam kepada penghuninya.

Tahun ketujuh disematkan dengan Sanat al-Istighlabmengingat konteks Perang Khaibar yang di dalamnya kaum Muslimin berhasil mengatasi (ghalaba) kaum Yahudi.

Tahun kedelapan digelari Sanat al- Istiwa`yang dapat dimaknai Tahun Sama Rata. Peristiwa penting yang terjadi adalah penaklukan Makkah (Fathu Makkah) pada 10 Ramadhan.

Sang penakluk, Rasulullah SAW, tidak berperang, tapi mendamaikan antara umatnya dan penduduk Makkah. Hasilnya, berbondong-bondong masyarakat setempat memeluk Islam tanpa paksaan. Tidak ada lagi strata penindasan. Mereka sama-sama Muslimin dan kedudukannya sejajar sebagai hamba Allah.

Tahun kesembilan dinamakan Sanat al- Bara`ahyang di dalamnya turun Surah at- Taubah. Surah itu dibuka dengan pernyataan bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri (baraa`ah) dari kaum musyrikin.

Makna lainnya, seperti dijelaskan Buya Hamka, mulai saat ini semua perjanjian yang pernah dibuat antara Nabi SAW dan kaum musyrikin tidak akan berlaku lagi.

Tahun ke-10 sejak hijrahnya Rasulullah SAW disebut sebagai Sanat al-Wadaa', Tahun Perpisahan karena saat itulah berlangsungnya haji perpisahan (haji wada'). Tahun yang sama juga dijuluki Sanat Muhimmah, Tahun Perutusan, karena beliau SAW mulai gencar mengirim utusan-utusan kepada para penguasa, baik Arab maupun non- Arab untuk menyampaikan Islam.

Tradisi menyebut tahun sesuai dengan kejadian unik tertentu mulai ditinggalkan sejak zaman Khalifah Umar bin Khaththab. Sahabat yang bergelar al-Faruq itu memper kenalkan penanggalan Hijriyah.Ketika mulai tersiar, risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW tidak mengajukan kalender (baru).

Tapi, Alquran me nyinggung beberapa bulan sebagai aspek penanggalan yang dipakai mayoritas penduduk Arab masa itu.

Misalnya, surah at-Taubah ayat 36 yang menegaskan, Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan. "Ayat yang sama menerangkan adanya empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab.

Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Sesungguhnya zaman ini telah berjalan, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya, ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Lalu, Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement