Jumat 14 Sep 2018 01:22 WIB

3 Syarat untuk Dapat Rahmat dan Ampunan Allah

Ketiganya adalah iman, hijrah, dan jihad fi sabilillah.

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS (kiri).
Foto: Irwan Kelana/Republika
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 218, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Dari ayat ini, ada tiga hal yang mutlak dilakukan jika ingin mendapatkan rahmat dan ampunan Allah Swt. Yakni, iman, hijrah, dan jihad fi sabilillah. Rahmat Allah SWT berupa kasih sayang, inayah dan ma’unah-Nya, absolut hanya akan diraih dengan tiga hal ini,” kata Guru Besar IPB, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS, saat mengisi pengajian guru Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) di Masjid Al Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, Jumat (7/9).

Pertama, kata Kiai Didin,  iman. “Iman merupakan hal paling fundamental dalam diri seorang Muslim. Iman haruslah mengakar di dalam jiwa. Dengan iman inilah manusia dapat bahagia dan selamat di dunia dan akhirat,” tutur direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor.

 

Ia menambahkan, amal saleh seseorang merupakan wujud dari keimanannya. Oleh karena itu, iman dan amal saleh, dua hal yang tak dapat dipisahkan. “Seseorang dapat dikatakan beramal saleh, jika ia beriman kepada Allah SWT,” ujarnya.

Iman juga tak dapat dikontradiksikan dengan sains dan teknologi. Jika seorang yang beriman, dia dapat memanfaatkan sains dan teknologi sebagai sarana kehidupan, untuk digunakan seluas-luasnya demi kemaslahatan kehidupan. Bukan untuk merusak. “Iman sebagai pengendali dari kebermanfaatan sains dan teknologi,” tuturnya.

 

Dalam surah Ali Imran  ayat  190-191, Allah SWT  menjelaskan tentang kriteria seseorang yang disebut ulul albâb atau  cendekiawan. Yaitu mereka yang mampu memadukan zikir dan pikir dalam waktu bersamaan.

Zikir itu hakikatnya amaliah hati. “Mengingat Allah saat kapanpun dan dalam kondisi bagaimana pun. Meyakini bahwa Allah selalu mengawasinya di mana pun saat bagaimana pun,” kata Kiai Didin.

 

Sedangkan pikir, hakikatnya kerja otak dan indera lainnya untuk membaca, mengkaji, meneliti, memahami, dan menyimpulkan kekuasaan Allah yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya. “Kemampuan zikir dan pikir ini harus saling terpadu satu sama lain,” tegasnya.

 

Kedua, hijrah. Hijrah mengandung dua pengertian. Secara fisik, berarti berpindah tempat dari tempat satu ke tempat lainnya. “Secara qolbiah/perilaku, berubah dari perilaku yang buruk kepada perilaku baik,” ujarnya.

Dalam kaitannya dengan kondisi perekonomian Indonesia saat  ini, Kiai Didin  menyampaikan beberapa konsep tentang hijrah ekonomi, yaitu: dari ekonomi konvensional kepada syariah; hijrah dari impor kepada ekspor; hijrah dari ketergantungan menuju kemandirian; dan hijrah dari kesenjangan menuju pemerataan.

Selain itu, hijrah dari perilaku ribawi menuju perilaku yang halal dan thayyib; hijrah dari perilaku korupsi menuju perilaku jujur dan amanah; berekonomi syariah, artinya berperilaku ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, bukan semata berbicara uang.

 

Ketiga, kata Kiai Didin, jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah artinya mengerahkan segenap kemampuan untuk meninggikan kalimat Allah dalam mewujudkan kebaikan. Jihad tidak selalu berperang (qital). Jihadnya seorang guru ialah mendidik peserta didik untuk menjadi pribadi beriman, bertakwa, dan menguasai sains dan teknologi. Jihadnya para pejabat ialah dengan SK-SK yang mereka keluarkan di jalan kebaikan dan kemaslahatan umat.

 

“Maka dari itu, siapa pun kita, apa pun profesi kita, kita dapat berjihad sesuai dengan bidang kita masing-masing selama diarahkan untuk terwujudnya kebaikan,” ujar KH Didin Hafidhuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement