REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban dunia telah mengenal aspal. Aspal adalah produk minyak bumi pertama yang digunakan oleh umat manusia.
Bangsa Sumeria menyebutnya esir. Bangsa Akkadia menyebutnya iddu. Sedangkan, Arab mengenalnya dengan sayali, zift, atau qar. Kita menyebutnya aspal.
Jika menyebut cairan kental yang satu ini, aroma jalanan yang baru diaspal langsung terbayang.
Ribuan tahun sebelum peradaban pertama di Sumeria, substansi yang kita sebut aspal ini telah terkenal sebagai perekat. Beberapa abad kemudian, aspal juga ditemukan di salah satu keajaiban dunia, Menara Babel. Di Mesir, aspal digunakan untuk mengawetkan mumi. Dan, ribuan tahun kemudian, dengan kedatangan Islam, dokter Muslim mulai meresepkannya untuk penyakit kulit dan luka.
Pada zaman kuno, aspal menjadi monopoli bangsa Mesopotamia. Yang pasti, di sepanjang pantai timur Laut Mati dan di Persia aspal telah dieksploitasi sejak zaman awal. Namun, tidak ada yang mengeksploitasi aspal lebih baik dibandingkan Mesopotamia.
Negeri ini dianugerahi dengan kandungan minyak bumi yang melimpah. Dari utara ke selatan di sepanjang Sungai Tigris dan Eufrat, negara itu dipenuhi aspal, mata air minyak mentah. Bahkan, batuan aspal yang dipanaskan mengeluarkan minyak mentah.
Baca: Aspal di Dunia Islam
Bangsa Mesopotamia tidak tahu cara memperlakukan aspal yang mudah terbakar atau cara mengentalkannya dengan dibakar. Sebenarnya, pendahulu bangsa Babilonia dan Sumeria bukan yang pertama menggunakan aspal. Manusia prasejarah menggunakan sabit yang dilumuri aspal untuk berburu dan pertanian. Namun, masyarakat yang pertama kali menggunakan aspal dalam skala besar adalah para pemukim awal di sepanjang sungai di selatan Mesopotamia.
Bangsa yang dikenal dengan sebutan ubaid ini muncul sekitar 4500 tahun sebelum masehi (SM) dan harus beradaptasi dengan lingkungan rawa yang keras. Di tanah tandus tanpa pohon dan batu mereka membangun tempat tinggal dari satu-satunya material yang tersedia, yaitu alang-alang. Alang-alang yang dijalin dengan serat rumput kemudian dilapisi dengan lapisan tebal lumpur dan menjadi dinding.
Lumpur, bagaimanapun tidak bisa menahan banjir yang kerap datang saat musim semi. Tak pelak hal tersebut menjadikan penemuan aspal sebagai berkah tersendiri. Aspal tahan kelembaban dan bebas perawatan. Setelah penemuan itu, mereka mulai membuat kapal yang tahan air.
Pada 4000 SM mereka sudah berkeliaran di rawa-rawa Shatt al-Arab dengan perahu dayung dari anyaman alang-alang yang ditutupi kulit hewan. Perahu kemudian dilapisi aspal di bagian dalam, luar, lambung kapal, dan memperkuat bagian kapal dari alang-alang yang rapuh.
Teknik ini diwariskan ke bangsa Akkadia dan Babilonia hampir tanpa perubahan. Dengan perahu seperti itu, ubaid berkelana ke Teluk Arab, Bahrain, hingga ke pantai timur Arab Saudi. Mereka menjadi menjadi pelaut pertama yang didokumentasikan dalam sejarah.
Baca Juga: Taman-Taman Islam
Sementara itu, di dataran aluvial di utara, masyarakat di sana telah membuat batu bata sebagai bahan bangunan. Awalnya, mereka hanya menjemur bata sampai kering. Setelah bereksperimen, mereka belajar bahwa bata tidak cukup kuat untuk mendukung struktur yang besar sehingga mereka mulai menambahkan sedikit jerami dan tanah liat.
Dengan begitu, batu bata menjadi sedikit lebih kuat, tapi masih runtuh karena banjir atau hujan berkepanjangan. Mereka akhirnya mulai menambahkan aspal. Tidak diketahui dengan pasti kapan dimulainya, tapi diperkirakan pada zaman prasejarah, jauh sebelum 3000 SM.
Pada milenium ketiga SM, Sumeria telah membuat bentuk batu bata datar di satu sisi dan cembung di sisi lainnya. Yang lebih penting, dengan dilapisi aspal, bata menjadi lebih keras dan tahan air. Selain itu, bata menjadi berpori dan menyerap sebagian aspal yang digunakan sebagai mortar sehingga keras seperti batu.
Campuran inilah yang membuat batu bata mampu mempertahankan beban berat tembok tanpa kendur. Sampai 2200 SM, bermunculanlah kuil-kuil milik para Raja Sumeria di kota kuno, seperti Kish, Ur, dan Uruk.
Untuk mengurangi penggunaan aspal yang mahal, dibuatlah terobosan baru dengan mencetak batu bata dalam bingkai kayu. Batu bata digunakan untuk membangun ziggurat yang tinggi, bendungan dan istana yang luar biasa. Pada awalnya, struktur yang terbesar adalah ziggurat. Struktur ini didirikan di pusat kota untuk menghormati dewa-dewa. Seiring waktu, setiap kota memiliki ziggurat sendiri. Banyak dari ziggurat tersebut yang membutuhkan jutaan batu bata dan ribuan ton aspal.
Di antara bangunan yang paling terkenal adalah Menara Babel. Dibutuhkan ratusan tahun untuk menyelesaikannya. Herodotus, yang melihatnya berdiri sesaat sebelum hancur, menggambarkannya sebagai piramida tujuh tingkat yang menjulang setinggi 90 meter di langit Babilonia. Tiap tingkat mempunyai warna yang berbeda dan batu batanya disemen dengan aspal.
Baca Lagi: Hijrah dan Kesuksesan Berdakwah
Menara Babel diselesaikan oleh Nebukadnezar II, raja besar terakhir dari Babel dan salah satu pembangun yang paling luar biasa dalam sejarah. Bagi Nebukadnezar aspal merupakan simbol kemajuan dan kemakmuran. Aspal tidak hanya dipakai di menara itu, tetapi dalam setiap sudut kehidupan rakyat Babel. Aspal dipakai di jalan, dinding, kamar mandi, jembatan, dan pipa pembuangan.
Di antara prestasinya, adalah pembangunan jembatan di atas Sungai Eufrat sepanjang 120 meter. Dia juga membangun selokan besar yang dilapisi dengan campuran aspal, tanah liat, dan kerikil. Nebukadnezar menjadi orang pertama yang membangun jalan beraspal.
Selain dalam bidang pembangunan, aspal juga menempati peranan penting dalam ekspresi artistik selama perkembangan peradaban di Mesopotamia. Aspal, misalnya, telah dibentuk menjadi wig dan ditutupi dengan lembaran aluminium emas atau tembaga untuk menghiasi patung-patung terakota dan patung batu besar.
Teknik tatahan juga digunakan untuk menghias karakter pada alat tertentu. Misalnya, kecapi kayu yang dihiasi dengan kepala banteng emas dan kambing yang berdiri. Kepala dan kaki kambing yang diukir dari kayu ditutupi dengan lembaran emas dan direkatkan dengan aspal. Ratusan benda lain yang ditemukan arkeolog dalam beberapa dekade terakhir memberikan contoh penggunaan aspal dalam seni Mesopotamia.
Saat bangsa Mesopotamia memakai aspal dalam jumlah besar, Mesir justru tidak menggunakannya. Perbedaannya karena piramida di Mesir dibangun dari potongan batu besar, bukan dari batu bata yang disusun.
Kapal-kapal di Mesir juga dibuat dari papirus, serat alami yang lebih bisa mengapung dan lebih tahan terhadap air asin. Singkatnya, bangsa Mesir tidak memakai aspal dalam jumlah besar karena bahan baku yang berbeda, begitu pula kebutuhannya.
Namun, sekitar pertengahan abad keempat SM, Mesir mulai mencari sumber baru aspal. Mereka menemukannya di Laut Mati. Setiap tahun potongan aspal seluas 100 meter mengapung di tengah laut. Sehingga, tidak sulit pula mengambilnya.
Mumifikasi menjadi alasan Mesir mulai mencari sumber aspal. Tanpa campuran aspal dengan substansi aromatik lainnya, akan sulit mengawetkan mayat. Mumifikasi telah berlangsung dalam waktu yang lama sebelum 400 SM.