REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama beradab-abad Islam pernah berkuasa di Eropa. Jejak kegemilangan dan warisan berharga masih terlihat hingga sekarang.
Cendekiawan Muslim, Ibnu Khaldun, pernah menuliskan, jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen memegang nilai dan moralitas tersebut pada saat kemaksiatan merebak di mana-mana.
"Inilah yang terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol," tulis Ibn Khaldun.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750), perluasan wilayah kekuasaan khilafah Islamiyyah (lembaga pemerintahan dalam Islam) dilakukan ke timur, utara, dan barat. Perluasan ke utara dilakukan dengan menyerang wilayah Kekaisaran Bizantium.
Menurut Tufik Abdullah dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, dijelaskan Bani Umayyah juga memperluas wilayah kekuasaan ke Semenanjung Iberia (Andalusia atau Spanyol) yang dikuasai oleh Bangsa Gothia. Perebutan wilayah kekuasaan dipimpin oleh panglima perang Tariq bin Ziyad. Ia berhasil menaklukkan Kota Cordoba, Granada, dan Toledo yang merupakan ibu kota Visigoth.
Selanjutnya, Bani Umayyah berhasil menaklukkan Sevilla, Zaragoza, dan Barcelona. Daerah Aragon dan Castillia juga bertekuk lutut. Sesudah itu, menuju ke timur laut sampai pegunungan Pyrenia. Penaklukan terhenti karena Khalifah al-Walid memanggil pasukan pulang ke Damaskus.
Kekuasaan Umayyah yang didirikan oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan hanya mampu bertahan sekitar 90 tahun. Banyak faktor yang mengakibatkan kelemahan dan kejatuhan Bani Umayyah. Pertama, konflik berkepanjangan dalam keluarga besar Umayyah. Situasi semakin diperparah dengan naiknya beberapa khalifah yang lemah, boros, dan zalim. Hal ini menimbulkan rasa benci masyarakat dan ulama sehingga wibawa pemerintahan pusat semakin rusak.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam juga pernah berjaya di Eropa. Namun, menurut Finer, SE (1999-01-01) dalam The History of Government from the Earliest Times: Volume II, pada akhir abad kedelapan Dinasti Abbasiyah terasing dan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan atas al-Andalus (Spanyol) dan Maghreb (Maroko).
Kekuatan politik para khalifah sebagian besar berakhir dengan munculnya Buwaihi dan Turki Saljuk. Meskipun kepemimpinan Abbasiyah atas kerajaan Islam yang luas secara bertahap dikurangi menjadi fungsi agama seremonial, dinasti mempertahankan kontrol atas demesne Mesopotamia. Ibu kota Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, filsafat, dan penemuan selama masa kejayaan Islam.
Sementara itu, Marshal Hoghson ahli sejarah peradaban Islam dalam bukunya, The Venture of Islam, menyebutkan, keruntuhan Dinasti Abbasiyah dikarenakan adanya pergeseran orientasi watak peradaban yang berkembang di dunia Islam. Menurutnya, kecenderungan militerisme dan ekspansi wilayah kekuasaan muncul sebagai ciri utama peradaban Islam menyusul tampilnya supremasi politik bangsa Mongol dan Turki.
Memasuki era modern, Turki Ottoman menjadi kekuatan besar yang diperhitungkan dalam sejarah. Kekuasaannya meliputi sebagian Asia, Afrika, dan Eropa. Puncak kejayaan Ottoman berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566). Setelah itu, semakin lemah karena pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa Eropa.
Pada masa kekuasaan Kerajaan Utsmani, terjadi perluasan wilayah Islam hingga ke daratan Eropa. Bursa, kota di tepi Laut Marmara, dapat dikuasai oleh Utsman dan anaknya Orkhan pada 1324. Penduduk kota itu berduyun-duyun masuk agama Islam, Orkhan sebagai pengganti Utsman memindahkan ibu kota ke Bursa pada 1326 setelah Utsman meninggal.
Pada masa Orkhan, wilayah Ottoman bertambah lagi dengan masuknya wilayah Turkeman ke pangkuannya. Ia menundukkan Kota Nicaea (Iznik) pada 1331 dan Nicomedia (Izmit) 1337. Orkhan dapat menundukkan Karasi pada 1345 dan mengontrol wilayah antara Teluk Edremit dan Cyzicus yang dapat mencapai laut Marmara.
Sulaiman Putra Orkhan berhasil menaklukkan daratan Semenanjung Balkan. Pada 1361 atau pada masa Murad I, Adrianopel di daratan Eropa ditaklukkan lalu namanya diganti menjadi Edirne. Ia juga dapat menguasai Philppolis (Filibe), Macedonia (1387), Bulgaria Tengah, termasuk Monatsir (1382), Sofia (1385), dan Nish (1386).
Periode ekspansi Turki Utsmani ke wilayah Balkan dan Eropa Tengah sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16. Pada periode ini, umat Islam meyebar ke Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, dan Yunani.
Ekspansi Ottoman di Eropa berakhir dengan kekalahan mereka dalam Perang Turki yang besar. Dalam Perjanjian Karlowitz (1699), Kekaisaran Ottoman kehilangan sebagian besar penaklukan di Eropa Tengah.
Menurut Avalanche Press, selama berabad-abad kekaisaran Ottoman secara bertahap kehilangan hampir semua wilayah Eropa, sampai keruntuhannya pada 1922.
Menurut Tufik Abdullah dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, keruntuhan Dinasti Ottoman di Eropa dimulai setelah masa pemerintahan Sulaiman I atau pada abad 15. Pada masa ini, kerajaan Utsmani hanya dapat bertahan dari serangan musuh dan hanya dapat meluaskan sedikit wilayah.
Ini dikarenakan kerajaan yang besar ini dipimpin oleh sultan yang lemah. Tidak seperti sultan-sultan sebelumnya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh negara Eropa untuk melakukan ekspansi ke dunia Islam.
Banyak faktor yang menyebabkan mengalami kemunduran dan kehancuran. Antara lain, wilayahnya yang demikian luas sehingga sulit diatur dengan baik karena banyak masalah yang harus dipecahkan, timbulnya ketidakadilan, suburnya praktik kolusi serta sogokan dengan banyak hadiah, serta merajalelanya perampokan dan kejahatan.
Kemerosotan ekonomi juga menjadi faktor penyebab kemunduran Utsmani, yakni terkait biaya perang yang begitu mahal sehingga mengurangi keuangan negara. Peperangan yang berkepanjangan, antara lain, terjadi antara pasukan Ottoman dan Hungaria.
Kekalahan demi kekalahan dialami pasukan Utsmani yang telah letih berperang. Ditambah lagi, faktor kemanusiaan yang mengabaikan kesejahteraan rakyat karena para pejabat negara disibukkan dengan masalah perang sehingga kehidupan rakyat dilalaikan.
Kerusakan moral juga merambah istana dengan adanya pesta yang dilakukan dengan minuman keras dan para dayang yang mengitari para pembesar negara. Kelemahan kerjaan besar itu juga diakibatkan ikut campurnya para istri sultan dalam mengatur pemerintahan.
Stephen Lee dalam Aspects of European History: 1494-1789 menyebutkan, stagnasi dan penurunan kekaisaran Ottoman dikarenakan adanya kemerosotan dalam kepemimpinan Sultan yang tidak memiliki kemampuan dalam memimpin. Selain itu, pelaku pejabat istana yang terlibat korupsi, tamak, bermusuhan, dan berkhianat juga menjadi faktor penentu runtuhnya kekaisaran Ottoman. Lee melanjutkan, tumbuhnya kekuatan militer Eropa menjadi lebih kuat, juga menjadi penyebab kekalahan tentara Ottoman.
Jonathan Grant (1999) dalam jurnal yang berjudul "Rethinking The Ottoman 'Decline': Military Technology Diffusion in the Ottoman Empire, Fifteenth to Eighteenth Centuries" menyebutkan, runtuhnya kejayaan Turki Ottoman di Eropa juga disebabkan kondisi ekonomi negara yang sulit. Penyimpangan terjadi di mana-mana sehingga banyak rakyat miskin. Perang menyebabkan inflasi, perdagangan dunia pindah arah, dan memburuknya hukum serta ketertiban.