REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cantik parasnya, tinggi kedudukannya, cerdas otaknya. Begitulah para sejarawan menggambarkan sosok Ummu Salamah. Ia adalah salah satu istri Rasulullah SAW yang pertama kali masuk Madinah. Ummu Salamah adalah teladan bagi para istri, karena kemuliaan akhlak dan kesalehannya.
Sejatinya, ia bernama Hindun binti Abi Umayyah bin Mughirah al-Makhzumiyah al-Qursyiyah. Ayahnya adalah seorang tokoh Quraisy terkemuka. Kakeknya juga sangat disegani serta masyhur dengan kedermawanannya.
Bapaknya dijuluki Zaad ar-Rakbi (pemberi bekal kafilah), karena selalu mencukupi bekal setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Ibunya bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang juga memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
Sebelum menjadi ummul mukminin, ia dipersunting oleh Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad al-Makhzumi -- seorang sahabat yang mengikuti dua kali hijrah. Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri baik dari segi kesetiaan, ketaatan, serta dalam menunaikan hak-hak suaminya.
Ia adalah seorang istri yang salehah. Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Ia rela memikul beban ujian berupa kerasnya siksaan orang-orang Quraisy, karena keyakinannya memeluk agama yang paling benar di hadapan Allah SWT, yakni Islam.
Ketika siksaan dari kafir Quraisy makin menjadi-jadi, ia mendampingi suaminya hijrah Habasyah. Harta, keluarga, kampung halaman yang dicintainya, ia tinggalkan demi Islam. Ia lalu dikarunia seorang putra bernama Salamah. Setelah kembali ke Makkah, pasangan ini kembali mengikuti hijrah ke Madinah.
Pada hijrah kedua itulah, Ummu Salamah mendapat ujian yang sangat berat. Ia dicegah untuk pergi bersama suaminya menuju Madinah. Ummu Salamah ditahan orang-orang dari Bani Mughirah dan anaknya Salamah direbut oleh Bani Abdul Asad. Suaminya akhirnya hijrah seorang diri demi menyelamatkan nyawa dan agamanya.
‘’Selama beberapa waktu lamanya, hatiku hancur dalam keadaan sendiri karena terpisah dari suami dan anakku. Sejak hari itu, setiap hari aku pergi keluar ke pinggir sebuah sungai, kemudian aku duduk disuatu tempat yang menjadi saksi akan kesedihanku. Terkenang olehku saat-saa aku berpisah dengan suami dan anakku sehingga menyebabkan aku menangis sampai menjelang malam,’’ tutur Ummu Salamah.
Selama satu tahun, ia harus melalui ujian yang berat itu. Hingga akhirnya, seorang laki-laki dari kaum pamannya meminta kepada orang-orang yang menahannya untuk melepas Ummu Salamah agar kembali berkumpul dengan suami dan anaknya.
Bersama anknya, ia menunggang unta untuk menjumpai suaminya di Madinah. ‘’Aku keluar untuk menyusul suamiku di Madinah dan tak ada seorangpun yang bersamaku dari makhluk Allah. Manakala aku sampai di at-Tan’im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah,’’ paparnya berkisah.
‘’Hendak kemana wahai putri Zaad ar-Rakbi?’’ tanya Utsman. ‘’Aku hendak menyusul suamiku di Madinah,” jawabnya. ‘’Apakah ada seseorang yang menemanimu?’’ tanya Utsman lagi. ‘’Tidak! demi Allah! melainkan hanya Allah kemudian anakku ini.’’ Lalu Utsman memegang tali kekang unta Ummu Salamah dan menuntunnya menuju Madinah.
Ummu Salamah akhirnya tiba di Madinah. Ia menjadi wanita pertama yang memasuki kota itu. Selama di Madinah, ia sibuk mendidik anaknya serta mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal suaminya berjihad di jalan Allah. Abu Salamah tampil penuh keberanian di Perang Badar dan Perang Uhud.
Di Perang Uhud ia terluka parah. Lengannya terkena panah. Dua bulan kemudian, Rasulullah mendapat laporan bahwa Bani Asad hendak menyerang kaum Muslimin. Lalu Beliau memanggil Abu Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera pasukan menuju Qathn, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai 150 tentara Allah.
Pada pertempuran itu luka Abu Salamah kembali kambuh. Hingga akhirnya, ia wafat di samping Rasulullah yang kemudian memanjatkan doa, ‘’Ya Allah ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan Al-Muqarrabin dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal’Alamin.’’
Ummu Salamah menghadapi ujian itu dengan keimanan dan jiwa yang sabar. Ketika telah habis masa idahnya, beberapa sahabat bermaksud untuk melamarnya. Akan tetapi Ummu Salamah menolaknya. Rasulullah pun turut memikirkan nasib wanita nan mulia itu. Ummu Salamah adalah seorang wanita mukminah yang jujur, setia dan sabar.
Suatu hari, saat Ummu Salamah sedang menyamak kulit, Rasulullah datang dan meminta izin kepada Ummu Salamah untuk menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Ia mengambilkan sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah.
Mendengar lamaran itu, perasaannya bercampur antara percaya dan tidak. ‘’Bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan Anda ya Rasulullah… hanya saja aku adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengazabku…’’ tutur Ummu Salamah.
‘’Lagi pula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia dan memiliki tanggungan keluarga,’’ ujarnya. Rasulullah SAW pun berkata, ‘’Apapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya.’’
Berkat kesalehannya, Allah telah menganti suaminya yang telah wafat dengan seorang suami yang lebih baik, yakni Rasulullah. Ummu Salamah pun menjadi Ummu Mukminin yang hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama para ummahatul mukminin. N sumber: Wanita Teladan, karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Mustafa Asy-Syibli