REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak hanya satu alasan yang membuat Gravitter ingin masuk Islam, tetapi juga banyak hal yang membuatnya terpikat de ngan risalah Muhammad SAW ini. Bagi Gravitter yang tumbuh besar sebagai seorang cucu dari seorang peng khotbah Pentakosta Kentucky, ajaran-ajaran gereja sejak kecil sangat kuat mendominasi.
Ketertarikan Gravitter kepada Islam bukan proses yang muncul begitu saja. Alasan kuat itu antara lain, munculnya beragam pertanyaan keraguan tentang keyakinannya yang selama ini dia anut. Pertanyaan itu bahkan bergentayangan sejak dia masih berumur tujuh tahun, tentang sesuatu yang radikal seperti sosok sebenarnya Yesus.
Dia kemudian meninggalkan Pantekosta pada usia 10 tahun untuk menjadi Lutheran. Meskipun dia tidak cocok dengan Kristen, dia masih tetap pergi ke gereja setiap Ahad, membaca Alkitab, mengajar sekolah Alkitab ketika liburan, dan bernyanyi di gereja. Dia bahkan pergi ke kamp kepemimpinan setiap musim panas selama sekolah menengah sehingga dapat fokus pada Perjanjian Lama dan Baru.
"Ketika saya berusia 16 tahun, saya memiliki kecenderungan untuk mulai berdoa langsung kepada Tuhan, kata dia. Ketika dia mulai kuliah pada 2011, Gravitter mulai memiliki banyak teman Muslim. Salah satu dari mereka mengatakan, Islam dan Kristen memiliki nabi yang sama. Dari kejadian inilah, dia akhirnya tertarik mempelajari Islam lebih jauh lalu meneliti kesamaan antara agama-agama Ibrahim.
Dia tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang penelitian yang dilakukannya. Sejujurnya, semula dalam penelitiannya tersebut, dia ingin membuktikan Islam itu aneh dan media benar tentang Muslim. Pada musim gugur 2013, setelah mempelajari agama selama lebih dari setahun, Gravitter mengambil kelas pengantar agama, dan gurunya seorang pendeta yang justru banyak mengkritik Alkitab.
"Itu membuat saya marah karena saya telah menaruh semua iman saya dalam Alkitab, tetapi bahkan tidak 100 persen benar. Saya belajar bahwa Alquran tidak pernah berubah. Jadi, saya mencoba belajar tentang kebenaran Islam untuk mengubah keyakinan teman-teman Muslim saya, dan ternyata akhir nya memiliki efek sebaliknya," jelas dia. Semakin dia mempelajari Islam, semakin banyak pertanyaan tentang sains, Tuhan, Yesus.
Namun, dari segudang alasan keterpikatannya pada Islam, alasan utama yang paling kuat adalah ketika per tama kali membaca Alquran. Interaksi pertamanya dengan Alquran berawal suatu ketika pada bulan suci, Ramadhan. Dia benar-benar ingin membaca Alquran bukan dari internet, melainkan langsung dari teks mushaf. Keinginan tersebut dia sampaikan kepada teman Muslimnya pada momentum buka puasa.
Malam itu, dia pulang dan mulai membaca. Hatinya menjadi penuh cahaya ketika membaca kalimat pertama. Dia menyembunyikan perasaan ini dari semua orang karena takut akan reaksi temanteman dan keluarganya.
"Saya masuk Islam pada Januari 2014, menyatakan iman saya hanya kepada Tuhan dan Muhammad SAW adalah nabi- Nya. Saya merasa seperti melakukan hal yang benar dengan mengatakannya, meskipun itu tidak terasa berbeda karena saya melakukannya sendiri, di rumah saya sendiri. Itu adalah rahasia kecil saya sendiri antara saya dan Tuhan," jelas dia.
Gravitter merasa, membaca Alquran dalam bahasa Inggris tidak cukup karena untuk benar-benar memahami makna dan konteksnya, sangat ideal membaca dan memahaminya dalam bahasa Arab. Dia memutuskan mengambil bahasa Arab di perguruan tinggi sehingga bisa membaca Alquran. Sekarang dia bisa membacanya dalam bahasa Arab meskipun belum mengerti semuanya.
Perubahan
Ada banyak perubahan dalam diri Grabelum begitu menyadari kenyataan itu. Hingga lewat beberapa tahun, dia tersadar menjadi pribadi yang lebih baik dan dermawan. Dia banyak menyumbang un tuk amal dan melakukan amal sosial
Perubahan ekstrem adalam kehidupannya sejak berislam adalah cara berpakaian. Sekarang dia memilih berpakaian sopan karena pertimbangan norma masyarakat, bukan berdasarkan standar kecantikan orang lain.
"Ketika saya bertobat, hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu. Saya mengaku pada beberapa teman Muslim dan sahabat saya Lindsey (dia adalah orang Kristen). Dia adalah satu-satunya yang benar-benar mendukungku," jelas dia.
Dia merasa kesulitan menjaga rahasia keislamannya karena takut dengan reaksi keluarga dan teman-temannya. Dengan menjaga rahasia ini, dia selalu merasa hidup dalam kebohongan dan tidak menjadi orang yang benar-benar dia inginkan. ed: nashih nashrullah
Jilbab dan Badai Penolakan
Deklarasi keislamannya disuarakan ke publik pada tahun terakhir di perguruan tinggi. Semakin banyak orang mengatakan hal-hal buruk tentang Islam, semakin dia merasa perlu berbicara tentang hal itu. Begitu juga ketika dia memilih mengenakan jilbab, keluarganya tidak suka. Mereka ingin melihat rambut saya di depan umum dan mereka pikir dia memakainya untuk seseorang.
"Pertanyaan paling umum yang saya dapat kan dari Muslim dan non-Muslim adalah, "Apakah Anda memeluk Islam untuk seorang pria?" Saya, seperti banyak orang insaf lain yang saya kenal, tidak masuk Islam karena ka mi jatuh cinta dengan seorang Muslim," ujar dia.
Orang-orang menatapnya dengan tatapan jijik dan menggumamkan hal-hal kebencian, seperti "Muslim bodoh". Dia ditanya banyak per tanyaan yang sama yang dulu terlintas di pikirannya sebelum bertemu seorang Muslim. "Mengapa kamu memakai benda itu di kepalamu?" Aku biasanya mengatakan cara aku berpakaian adalah antara aku dan Tuhan. Saya bahkan mengatakan, saya mengenakan cadar karena Maria, ibu Yesus. Saya se ring khawatir bahwa seorang supremasi kulit putih mungkin akan menyerang saya atau merobek jilbab saya, tetapi itu membuat saya semakin tidak menyesal tentang iman saya,"
Dia mencoba berbicara dengan keluarganya tentang Islam sebelum berpindah agama, tetapi mereka tidak pernah memiliki hal yang baik untuk dikatakan tentang agama. Dia tidak pernah terang-terangan mem beri tahu orang tuanya meskipun dia mencoba memberi mereka petunjuk. Mereka akhir nya mengetahui bahwa Gravitter menjadi Muslim setelah memublikasikannya di YouTube.
"Reaksi awal keluarga saya adalah menyiapkan tiket ke Florida agar saya bisa pulang. Mereka datang dan kecewa ketika mengetahui bahwa agama dan gaya hidup saya berubah, tutur dia. Reaksi keluarga tentu saja, keluarganya tidak senang mendengar dia menjadi mualaf, tetapi menjadi Muslim membuatnya lebih mencintai mereka.
Tidak terhitung banyaknya perdebatan kebencian dari keluarganya. "Terutama, sisi ayah saya penganut Pentakosta, yang menyebut saya sebagai "teroris" atau "gila" di halaman Facebook mereka. Sayangnya, keluarga saya tidak dapat melihat agama saya," ujar dia.