REPUBLIKA.CO.ID, GUWAHATI -- Sejumlah Muslim di India mengajukan gugatan hukum terhadap keluarnya National Register of Citizens (Daftar Warga Negara Nasional) di negara tersebut. Hal itu lantaran mayoritas Muslim setempat tidak diakui atau menjadi bagian dari daftar tersebut.
Dilansir di Washington Post pada Jumat (17/8), pendataan Daftar Warga Negara Nasional menyebabkan kekacauan di masyarakat. Pendataan rancangan Daftar Warga Negara Nasional di negara bagian Assam, India mengecualikan sekitar empat juta orang sebagai warga negara pada bulan lalu. Lebih luas lagi, ada kampanye “deteksi-hapus-deportasi” sebanyak 20 juta imigran gelap dari Bangladesh yang sebagian besar Muslim.
Pada pekan lalu, masyarakat yang dikecualikan sebagai warga negara di Assam mengajukan permohonan mengapa mereka tak ada dalam daftar. Upaya tersebut menjadi langkah pertama dalam pertarungan hukum untuk membuktikan kewarganegaraannya.
“Saya menangis (tak diakui dalam daftar),” kata warga bernama Sumiron Nessa (20 tahun).
Ia dan ibunya tidak ada dalam daftar tersebut. Pun dirinya juga tak memiliki akta kelahiran atau dokumen untuk membuktikan Nessa memiliki tanah. Ijazah sekolah yang dimiliki Nessa ditolak sebagai bukti dirinya adalah warga negara.
“Saya adalah seorang murid. Saya orang India. Kenapa saya harus melalui semua ini untuk membuktikannya,” kata Nessa.
Pendataan warga adalah bagian dari upaya jamak untuk menghapus 'orang asing' dari Assam. Negara bagian ini memiliki sejarah panjang menangani dan menghadapi imigrasi ilegal selama beberapa dekade.
Menteri Dalam Negeri India Rajnath Singh mengatakan warga negara India yang tidak masuk daftar itu akan memiliki kesempatan untuk membuktikan kewarganegaraannya. Namun, pernyataan itu tidak meredakan keresahan dan ketakutan kaum minoritas, khususnya Muslim yang merasa menjadi sasaran kebijakan tersebut.
Penduduk desa Hathishola, sebuah desa lumbung padi, mengangkat isu itu ke mantan kepala desa, Akram Hussein. Sekitar sepertiga dari total warga setempat atau sebanyak 4.886 orang adalah seorang Muslim. Mereka merasa tengah menghadapi pengawasan karena tidak memiliki bukti yang cukup tentang kebangsaan India.
“Kami lahir di Assam, kami mempraktikkan budaya Assam,” kata seorang pengacara hak asasi manusia (HAM) bernama Aman Wadud.
Ia menyakini akan banyak orang India kehilangan haknya sebagai warga negara karena kesalahan administrasi atau kurangnya dokumen. India membutuhkan kerja sama dengan Bangladesh jika ingin mendeportasi para migran. Namun, hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi antara kedua negara mengenai masalah tersebut.
Menteri Dalam Negeri Bangladesh Asaduzzaman Khan mengatakan negaranya akan mempertimbangkan menerima para migran jika kewarganegaraan Bangladesh dapat dibuktikan. “Kami memiliki hubungan baik dengan India, karena itu, kami percaya India tidak akan mendorong mereka (migran) ke Bangladesh dengan tergesa-gesa,” tutur dia.
Sebanyak empat juta warga India tidak masuk dalam rancangan Daftar Warga Negara. Foto: AP/Anupam Nath
Terpilihnya Perdana Menteri Narendra Modi dianggap sebagai momentum baru untuk gerakan mengeluarkan 'orang asing' dari Assam. Presiden Partai Nasionalis Hindu Bharatiya, Amit Shah melabeli empat juta warga yang tak terdata sebagai infiltrator.
Sejak 2015, lebih dari 62 ribu pekerja pemerintah menangani 66 juta dokumen dari 33 juta orang yang mengklaim memiliki kewarganegaraan India. Namun, faktanya membuktikan sebuah kewarganegaraan sangat sulit di bagian paling miskin di India. Bahkan, kerabat mantan presiden India tidak mampu membuktikan silsilah kekerabatannya.
Pemerintah meminta dokumen warisan yang menunjukkan kepemilikan tanah, catatan pemungutan suara, atau residensi di India sebelum 1971. Bagi seseorang yang lahir di India setelah 1971 atau yang tidak memiliki dokumen warisan, diminta menunjukkan tautan ke orang tua atau keluarga yang lulus pendataan kewarganegaraan. Namun, pembuktian model itu sangat rentan terhadap perempuan. Sebab, biasanya warisan diberikan kepada laki-laki sehingga tak muncul dokumen yang membuktikan kepemilikan atau warisan atas perempuan India.
Koordinator Mahkamah Agung yang menangani pendataan Daftar Warga Nasional, Prateek Hajela membantah tudingan yang menyebut pendataan tersebut secara khusus menyasar Muslim dan mendata umat Hindu yang selama ini tak tercatat. Karena itu, ia mempersilakan siapa saja yang merasa kurang puas atas rancangan Daftar Warga Nasional untuk mengajukan banding ke otoritas terkait.
“Apa pun yang telah kami lakukan adalah untuk identifikasi warga. Ini adalah hasil dari masalah antiimigrasi yang diangkat oleh rakyat Assam,” ujar Hajela.