REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu kali, Rasulullah ditanya salah seorang sahabat dengan tiga pertanyaan. “Wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa mencuri?” Rasulullah pun membenarkan, “Benar. Orang beriman bisa mencuri,” jawabnya.
Sahabat itu pun bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa berzina?” Lagi-lagi Rasulullah pun membenarkan. Orang beriman bisa saja khilaf dan jatuh pada perzinaan.
Pertanyaan ketiga, “wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa berbohong?” ujarnya. Kali ini jawaban Rasulullah berbeda. “Tidak!” tegas Rasulullah. (HR Tirmidzi).
Hadis ini pun menuai tanda tanya di kalangan cendekiawan Muslim. Bagaimana mungkin tindak kriminal, seperti mencuri dan perzinaan, mendapat tempat lebih rendah daripada berbohong? Di dalam hukum jinayat secara jelas tercantum, pencuri terancam hukum potong tangan dan zina terancam hukuman rajam. Namun nyatanya, bagi si pembohong tidak mendapat hukuman apa-apa.
Perzinaan adalah seburuk-buruk kemaksiatan bagi diri seseorang. Sedangkan, pencurian seburuk-buruk kejahatan bagi kehidupan sosial. Bisa dikatakan, perzinaan dan pencurian merupakan kejahatan terberat bagi diri sendiri dan orang lain. Ternyata, kejahatan ini pun masih kalah dengan kejahatan berbohong.
Sedemikian beratkah hukuman bagi pembohong sehingga tidak dikategorikan lagi sebagai golongan orang-orang beriman? Seberat-berat hukuman bagi pencuri dan pezina, ternyata tidak mengeluarkannya dari keimanan. Tetapi, tidak berlaku bagi seorang pembohong. Dari hadis tersebut jelas dipahami, orang berbohong berarti bukan lagi bagian dari orang-orang beriman.
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadis Rasulullah yang lain. “Siapa yang membohongi/mencurangi kami maka dia bukan lagi dari golongan kami (golongan orang-orang beriman).” (HR At-Thabarani dan Ibnu Hibban).
Kemudian, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS an-Nahl [16]: 105)
Dari hadis dan ayat ini tergambar sudah, berbohong bukanlah karakter orang beriman. Berperilaku dan bertutur kata dengan benar menjadi identitas seorang Mukmin. Artinya, kebenaran dan kebohongan merupakan garis pemisah antara orang beriman dan orang munafik.
Bukankah ketika seorang masuk Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat? Syarat sah berlakunya syahadat adalah kesaksian dengan sebenar-benarnya bahwa ia mengakui Allah sebagai Rabb dan Muhammad SAW sebagai Nabinya. Jadi, untuk menjadikan seorang kafir menjadi Muslim, yakni dengan sebuah kebenaran.
Sebelum kerasulannya, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang jujur. Ketika ia mengumpulkan warga Makkah di bukit Shofa untuk menyampaikan Islam secara terang-terangan, Rasulullah pun bersabda, “Apa pendapat kalian jika kukabarkan ada sepasukan berkuda yang mengepung kalian di lembah ini? Apa kalian memercayaiku?” Secara serempak, penduduk Makkah menjawab, “Kami tidak pernah mempunyai pengalaman bersama engkau kecuali kejujuran.” (HR Bukhari). Jelas tergambar, Rasulullah sama sekali tidak pernah berbohong walau hanya sekali.
Abu Bakar RA mendapatkan gelar As Shiddiq (orang yang benar) yang merupakan gelar paling mulia di antara para sahabat. Bukan saja karena membenarkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW, melainkan karena sedari zaman jahiliyah, Abu Bakar selalu berperilaku benar. Tidak pernah sekali pun ia bersedia mengikuti rayuan syaitan dari zaman jahiliyah hingga ia tutup usia. Abu Bakar tidak pernah berbohong walau untuk suatu kebenaran yang ia sampaikan akan mengancam jiwanya.
Ketika ia berhijrah dari Makkah ke Madinah bersama Rasulullah, ia pun dicegat oleh kafir Quraisy. “Siapa yang bersama engkau itu, wahai Abu Bakar?” tanya mereka. Abu Bakar pun kebingungan. Jika ia katakan yang bersamanya adalah Muhammad Rasulullah, tentulah mereka akan membunuh Rasulnya. Kendati demikian, ia juga tidak bisa berbohong.
“Yang bersama saya adalah penunjuk jalan saya,” jawab Abu Bakar. Mungkin yang dipahami orang-orang Kafir Quraisy tersebut adalah penunjuk jalan di Padang Pasir. Karena memang untuk menempuh padang pasir, diperlukan seorang penunjuk jalan. Angin gurun yang keras bisa memindahkan gunung sehingga bisa menyesatkan jalan siapa pun.
Namun, penunjuk jalan yang dimaksudkan Abu Bakar, yakni penunjuk jalan kehidupannya. Rasulullah adalah orang yang menunjukkan jalan ke surga. Ia sama sekali tidak berbohong dalam hal ini.
Syarat mutlak bagi seorang pemimpin harus mempunyai sifat shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Shiddiq menjadi syarat utama bagi seorang pemimpin. Nah, apakah itu akan ditepati para caleg dan capres nantinya?
Rasulullah bersabda, “Ada tiga kelompok yang pada hari kiamat Allah tidak akan berbicara kepada mereka, Allah tidak akan membersihkan mereka, Allah tidak akan memandang mereka, dan mereka akan disiksa dengan azab yang sangat pedih (yaitu); “Orang tua yang berzina, penguasa yang bohong, dan orang miskin yang sombong.”(HR Muslim dari Abi Hurairah RA).
Tidak ada ampun bagi seorang yang dipilih oleh rakyat ternyata setelah menjabat justru membohongi rakyat. Allah janjikan kepada mereka, di akhirat telah menunggu azab yang sangat pedih. Jangankan untuk mengampuni mereka, melihat kepada mereka saja Allah pun enggan. Sedemikian kerasnya siksaan bagi pemimpin yang pembohong.
Para pembohong diistilahkan sebagai orang-orang munafik yang tempatnya di neraka paling dalam. Ciri orang munafik adala; ketika berbicara selalu dusta, ketika berjanji selalu mungkir, dan ketika dipercaya ia khianat. (HR Bukhari dan Muslim).