Senin 13 Aug 2018 18:31 WIB

Sumbangsih Muslimah dalam Peradaban

Sejak zaman kuno, perempuan telah unggul dalam berbagai bidang

Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH MUHYIDDIN

Tak sedikit penelitian yang membahas tentang sumbangsih perempuan Muslim di berbagai bidang dalam peradaban klasik Islam. Kiprah para Muslimah itu pun terentang luas mulai dari bidang sains, teknologi, kedokteran, mate matika, hingga pemerintahan.

Salah satu perempuan Muslim yang memiliki kontribusi dalam pengembangan sains, yaitu Zubayda binti Ja'far al-Mansur. Dialah yang memelopori proyek paling ambisius dengan membangun jalur haji dari Baghdad ke Makkah, dengan berbagai fasilitas dan kelengkapannya.

Ada pula Sutaita al-Mahamali, pakar matematika dan saksi ahli di pengadilan, Dhayfa Khatun yang unggul dalam manajemen dan kenegarawanan, Fatima al-Fehri yang mendirikan Masjid Qarawiyin di Fez, Maroko yang kemudian menjadi universitas pertama di dunia. Kemudian, ada insinyur Mariam yang membuat astrolabe di Aleppo.

Namun, hanya sedikit literatur yang membahas tentang para tokoh perempuan Muslim tersebut sehingga perlu digali lebih dalam untuk menyajikan informasi tentang peran mereka di berbagai bidang.

Sejak zaman kuno, perempuan telah unggul dalam bidang puisi, sastra, kedokteran, filsafat, dan matematika. Contoh yang terkenal adalah Hypatia, seorang filsuf perempuan, matematika wan, astronom, sekaligus guru yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan di Alexandria, Mesir. Ada pula ratu Mesir yang terkenal dengan kecantikan dan kecerdasannya, Cleopatra (69 SM).

Pada tahun-tahun awal Islam, perempuan Muslim juga memiliki banyak keunggulan dan mereka berperan penting untuk kemajuan peradaban Islam. Misalnya, Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi Muhammad SAW yang memiliki keterampilan khusus dalam hal administrasi. Aisyah juga menguasai ilmu Hadis, fikih, seorang pendidik, dan seorang orator.

Banyak juga referensi yang menyebutkan, wanita Muslim unggul dalam bidang-bidang, seperti kedokteran, sastra, dan hukum Islam atau fikih. Di zaman modern, seorang perempuan Muslim dari Turki, Sabiha G?k?en (1913- 2001) bahkan memiliki peran tidak biasa. Dia adalah pilot tempur wanita pertama di dunia dan dia ditunjuk sebagai kepala pelatih di Institusi Penerbangan Turki.

Sumbangsih perempuan Muslim tidak banyak ditemukan dalam buku-buku sejarah klasik. Namun, selama beberapa tahun ini, seorang peneliti, Mohammed Akram Nadwi telah melakukan proyek jangka panjang untuk menggali biografi ribuan perempuan yang berkontribusi dalam mempelajari dan meng ajarkan Hadis.

Nadwi pun menulis buku yang berjudul Al- Muhaddithat: Cendekiawan Wanita dalam Islam. Terdiri atas 40 jilid. Dalam buku ini, ia menunjukkan peran sentral yang dimiliki perempuan dalam melestarikan ajaran Nabi.

Aisha Abdurrahman Bewley juga mener bitkan buku yang berjudul Muslim Women: A Biographical Dictionary. Buku ini merupakan kelanjutan dari karyanya sebelumnya, Islam: The Empowering of Women. Buku biografi tersebut merupakan sumber referensi yang komprehensif tentang perempuan Muslim dari abad pertama hingga sekitar pertengahan abad ke- 13.

Ketika saya membaca referensi biografi saya, saya terkejut dengan jumlah referensi wanita, dan banyaknya wanita yang berkiprah di berbagai bidang kehidupan, dari para sarjana hingga penguasa, kata Aisha seperti dikutip dalam artikel yang ditulis Salim al-Hassani di laman muslimheritage.

Menurut dia, peran perempuan Muslim tidak terbatas hanya di pekerjaan rumah saja. Mereka juga aktif di berbagai bidang. Beberapa cendekiawan Muslim mengungkapkan, ada perempuan di antara sekian banyak gurunya. Ibnu Hajar, misalnya, ia belajar dengan 53 perempuan, as-Sakhawi yang pernah be lajar kepada 68 perempuan, dan as-Suyuti be lajar dengan 33 perempuan, seperempat dari jumlah gurunya.

Secara umum, ada beberapa perempuan Muslim yang diakui keunggulannya baru-baru ini. Di antaranya putri Pangeran Ahmed di Andalusia, yaitu Aisyah. Dia mahir dalam bersajak dan berpidato dan perpustakaannya adalah salah satu yang terbaik dan terlengkap di kerajaan.

Wallada (dikenal sebagai Valada dalam keilmuan Barat), seorang puteri Almohad, juga memiliki bakat yang tak kalah unggul. Muslimah ini terkenal karena pengetahuannya tentang puisi dan retorika. Dia cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas. Ada juga al-Ghassania dan Safia, keduanya dari Sevilla. Dua Muslimah ini sangat jenius, puitis, ahli berorasi, serta tak tertandingi dalam bidang kaligrafi. Kemampuan sastra Miriam, putri berbakat dari al-Faisuli, juga sangat terkenal di seluruh Andalusia.

Berkiprah di bidang medis

Pada awal perkembangan Islam, banyak perempuan Muslim yang berkiprah sebagai perawat dan praktisi kedokteran. Sebut saja Nusayba binti Kaab Al-Mazeneya. Dialah yang menyediakan layanan keperawatan bagi prajurit Muslim di Perang Uhud.

Ada pula Ummu Sinan al-Islami (dikenal juga sebagai Ummu Imara). Dia meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk merawat para prajurit terluka dan menyediakan air bagi yang haus. Tercatat pula dalam sejarah, Ummu Matawe `al-Aslamiyya yang dengan sukarela menjadi perawat bagi pasukan Muslim dalam Perang Khaybar. Sedangkan, Muslimah bernama Ummu Waraqa binti Harits juga berpartisipasi dalam merawat para prajurit di Perang Badar.

Di antara sekian perawat itu, Rufayda binti Saad al-Aslamiyya disebut-sebut sebagai perawat Muslim pertama dalam sejarah Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, dia merawat prajurit yang terluka dan sekarat dalam Perang Badar.

Sebagian besar ilmu medis Rufayda diperoleh dari ayahnya, Saad al-Aslamy, yang adalah seorang dokter. Rufayda mengabdikan dirinya untuk merawat orang-orang yang sakit dan dia menjadi ahli medis.

Dia terus melatih keterampilannya di tenda- tenda peperangan. Pada masa itu, Rasulullah bia sanya memerintahkan, semua prajurit yang terluka dibawa ke tenda agar bisa dirawat.

Rufayda digambarkan sebagai perawat yang baik, empatik, dan organisator yang baik pula. Dengan keterampilanya, ia melatih wanita lain un tuk menjadi perawat dan bekerja di bidang perawatan kesehatan. Dia juga aktif di bidang so sial dengan membantu menyelesaikan masalah sosial yang terkait dengan penyakit. Ia pun membantu anak-anak yang membutuhkan dan merawat anak yatim, orang cacat, dan orang miskin.

Selain Rufayda, al-Shifa binti Abdullah tercatat sebagai Muslimah yang sangat bijak pada masa jahiliah. Pada masa itu, sangat sedikit orang yang mampu membaca dan menulis, tapi dia mampu menguasai ilmu kedokteran. Nama aslinya adalah Laila, tetapi akhirnya dijuluki al-Shifa, yang berarti penyembuhan. Julukan itu diberikan kepadanya karena Allah memberi jalan kesembuhan bagi beberapa orang melalui dirinya.

Sejarah Islam juga mencatat nama Nusayba binti Harits al-Ansar. Selain merawat prajurit yang terluka, ia juga dikenal sebagai tabib khitan.

Pakar matematika

Di bidang matematika, peradaban Islam mencatat nama Sutaita al-Mahamali dari Baghdad dan Labana dari Cordoba. Keduanya hidup pada abad ke-10.

Kemahiran Sutaita al-Mahamali dalam bidang matematika tak bisa dilepaskan dari peran sang ayah, Abu Abdallah al-Hussein. Selain dibimbing ayahnya, Sutaita juga menimba ilmu matematika dari beberapa ahli matematika pada masa itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafir bin Salamah al-Homsi.

Dari sejumlah cabang ilmu matematika, Sutaita menunjukkan keahlian dalam bidang aritmatika. Aritmatika merupakan cabang ilmu ma tematika yang mengkaji bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pada ma sa itu, aritmatika menjadi cabang matematika yang berkembang cukup baik.

Selain ahli aritmatika, Sutaita berhasil menemukan solusi sistem persamaan dalam matematika. Catatannya tentang sistem persamaan pun banyak dikutip oleh para matematikawan lainnya.

Kepiawaiannya dalam matematika membuat Sutaita dipuji oleh para sejarawan kala itu, seperti Ibnu al-Jauzi, Ibnu al-Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir. Sutaita tutup usia pada 987 M.

Selain Sutaita, perempuan Muslim yang ahli dalam bidang matematika adalah Labana dari Cordoba. Labana dikenal dengan kemam puannya menyelesaikan beragam masalah matematika yang sangat pelik, baik aritmatika, geometri, maupun aljabar. Saat itu, tak banyak ilmuwan pria yang mampu memecahkan masalah sepelik itu. Karena kecerdasannya, ia menjadi sekretaris Khalifah al-Hakam II dari Dinasti Bani Ummayah.

Mariam, Sang Astronom

Di bidang astronomi, sejarah Islam hanya mencatat satu nama perempuan, yaitu Mariam al- Astrolabiya al-Ijliya. Sayangnya, sangat sedikit informasi tentang dia. Biografi wanita brilian ini hanya bisa diketahui dalam bibliografi yang ditulis Ibn al-Nadim, Al-Fihrist.

Muslimah ini mampu membuat astrolabe, sebuah perangkat astronomi kuno yang biasa digunakan untuk menerjemahkan fenomena langit.

Bagi umat Islam, astrolobe digunakan untuk menentukan kiblat, waktu shalat, dan awal Ramadhan serta Idul Fitri. Astrolabe juga dikenal dengan ponsel pintar kuno. Saat ini, kita mengenal astrolabe sebagai versi modern Global Positioning System (GPS).

Ketika itu, orang yang ahli dalam membuat astrolabe disebut sebagai insinyur mesin. Mariam merupakan wanita pertama yang dikenal sebagai insinyur mesin dalam bidang astronomi.

Meskipun sangat sedikit informasi mengenai Mariam, kiprah astronom Muslimah ini sangat dikenal di Eropa. Di kalangan ilmuwan Eropa, Mariam dijuluki al-Astrolobe. Dia dipuji sebagai Muslimah pemberani dan canggih dalam dunia ilmu pengetahuan. Karena keahliannya dan kecerdasannya, banyak ilmuwan Eropa yang berkiblat padanya.

Kesuksesan Mariam di bidang astronomi tak lepas dari peran ayahnya. Ayah Mariam merupakan seorang pegawai yang membuat astrolabe terkenal di Baghdad.

Dalam bukunya, al-Nadim menulis, Mariam mengikuti profesi ayahnya di Aleppo dan ditugaskan di Istana Sayf al- Dawlah pada abad ke-10.Ayah Mariam dikenal dengan gelar al- Ijliya al-Usturlabi.Teknik merancang astrolabe yang dimilikinya merupakan sebuah rahasia. Ayahnyalah yang menjadi guru utama Mariam untuk membuat astrolabe.Tapi, Mariam membuat desain dan teknik pembuatan yang lebih canggih dan inovatif.

Dia dan ayahnya pun dipekerjakan penguasa Aleppo.Ketika itu, Aleppo dikuasai Sayf al-Dawla yang memerintah pada tahun 944-967.Secara tradisi, ilmu astronomi yang dikuasai seorang ayah secara selalu diturunkan kepada anaknya.Secara turun-temurun, keluarga Mariam memang selalu membuat alat yang berkaitan dengan astronomi.

Tak hanya belajar kepada ayahnya, Mariam juga berguru ke Bitolus bersama 16 orang insinyur lainnya.Namun, tidak diketahui kapan dan di mana guru astronomi itu berada saat Mariam berguru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement