Jumat 03 Aug 2018 13:47 WIB

Penghasilan Wajib Zakat Aparatur Sipil Negara

Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan.

 Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Foto: Antara/ Rahmad
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Salah satu objek zakat adalah penghasilan atau gaji bulanan. Setiap Muslim wajib menyucikan hartanya yang sudah mencapai nisab lewat pembayaran zakat.

Nisab yang dimaksudkan disini, yakni batas minimal pendapatan wajib zakat. Jika pendapatan seorang Muslim tidak mencapai batas itu, dia tak menjadi wajib zakat. Nisab zakat profesi, yakni jika harta seseorang mencapai 85 gram emas setahun (Jika harga emas Rp 600.000 per gram, nisab jatuh Rp 51 juta pertahun). Muslim yang sudah mencapai pendapatan tersebut harus membayar zakat 2,5 persen hartanya.

Tidak heran jika potensi zakat di Indonesia amat besar. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)pernah menghitung potensinya bisa mencapai lebih dari dua ratus triliun rupiah. Pemerintah lewat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun mewacanakan pungutan zakat ASN lewat pemo-tongan gaji sebesar 2,5 persen demi terealisasinya potensi tersebut.

Muncul banyak pertanyaan di masyarakat, khususnya ASN mengenai rencana kebijakan itu, Terutama, di tengah kebutuhan hidup yang membengkak, apakah nisab tersebut juga diberlakukan dengan menghitung pendapatan ASN tanpa dikurangi beban biaya hidup.

Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2018 tentang `Membayar Zakat Penghasilan Sebelum Terpenuhi Syarat Wajib'menjelaskan, komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan, seperti gaji, honorarium, upah, jasa dan lain-lain. Komponen tersebut diperoleh dengan cara halal baik rutin maupun tidak rutin. Contoh profesi dengan pendapatan rutin, yakni pejabat negara, pegawai, kar yawan. Sementara, profesi yang mempunyai pendapatan tak rutin adalah dokter, pengusaha, konsultan, pengacara, dan lainnya.

Objek zakat bagi aparatur sipil negara dan pejabatnya termasuk, tetapi tak terbatas pada gaji pokok. Contoh pendapatan tambahan, yakni tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lain yang tetap. Ijtima Ulama mem buat ketetapan hukum, yakni merujuk pada fatwa MUI No 3 Tahun 2003, penghasilan yang wajib dizakati adalah penghasilan bersih.

Penghasilan bersih yang dimaksud adalah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok (al haajah al ashliyah). Kebutuhan pokok disini meliputi kebutuhan diri sendiri terkait sandang, pangan, dan papan. Standarnya mengacu pada standar kebutuhan hidup minimum (KHM). Berikutnya, kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya termasuk kesehatan dan pendidikannya.

Dalilnya disandarkan pada Al quran, hadis dan pendapat para ulama. Allah SWT berfirman da lam Alquran, Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.Dan, janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji (QS al Baqarah: 267). Dalam ayat lainnya, Allah SWT juga bersabda, Dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan. Katakan lah: Yang lebih dari keperlu- an. Demikainlah Allah menerang kan ayat-ayat-Nya kepa damu supaya kamu berpikir. (QS al Baqarah: 219).

Dari Hakim bin Hizam ra dari Nabi saw. berkata,: Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu dan sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuh an dirinya). Maka, barang siapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan barang siapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya. Dan, dari Wuhaib berkata, telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW seperti ini. (HR al-Bukhari)Imam Nawawi berkata: Rasulullah SAW bersabda, sebaik- baik sedekah adalah yang tidak bergantung pada poros kekayaan.

Maksudnya, sedekah yang paling utama ialah sedekah yang menjadikan pemberi sedekah masih bisa memanfaatkan hartanya setelah bersedekah. Sedekah yang paling utama ialah sedekah yang masih menyisihkan hartanya untuk kemaslahatan dan kebutuhannya.

Keutamaan ini dinisbatkan kepada mereka yang menyedekah kan seluruh hartanya karena mungkin saja mereka akan menyesal akan hal itu. Sebab, tak ada lagi yang tersisa dan bisa jadi ia menyesal pada saat keadaan membutuhkan. Hal ini berbeda dengan orang yang menyede kahkan sebagian hartaya dan menyisihkan sebagian yang lain. Ia tidak akan menyesal bahkan mung kin akan bahagia.

Ibnu Hajar Al-asqolani dalam kitab fathul bari mengatakan:menurut pendapat yang terpilih arti hadis keutamaan sedekah ada lah sedekah yang dilakukan setelah memenuhi hak diri sen diri, keluarga yang digambarkan dengan adanya orang yang bersedekah tidak membutuhkan orang lain setelah bersedekah.

Arti tidak butuh di hadis ini, ialah terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan pokok, seperti makan ketika sedang sangat lapar, menutupi aurat (berpakaian), dan kebutuhan yang mendorong seseo- rang untuk menjauhkan dirinya dari marabahaya. Maka, dalam hal ini tidak boleh mendahulukan orang lain bahkan bisa menjadi haram.

Penyebabnya, ini akan menimbulkan kerusakan terhadap dirinya. Mengapa hak-hak diri sen diri lebih utama atas sega lanya.Ketika kebutuhan-ke butuh an pokok ini telah terpe nuhi, boleh men dahulukan orang lain atas diri nya sehingga disebutlah sedekahnya sebagai sede kah yang paling utama karena telah mengatasi kebutuhan-kebutuhannya dahulu.Dan, dengan demikian, pertentan- gan-pertentangan berbagai dalil bisa dinetralisir.

Kebutuhan pokok sebagai mana dimaksud pada nomor 4 adalah penghasilan tidak kena zakat (PTKZ). Pemerintah menetapkan besaran kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud nomor 4. Ini menjadi dasar dalam menetapkan apakah seseorang itu wajib zakat atau tidak.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement