REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mahmud al-Mishri dalam bukunya, Mausu'ah an Akhlaq ar-Rasul, (Ensiklopedia Akhlak Rasulullah) menjelaskan hal ihwal rahasia. Rahasia dalam bahasa Arab disebut sirr. Informasi apa pun yang diperoleh seseorang dari koleganya ataupun institusi tempat ia bekerja, contohnya, adalah benda berharga yang harus tetap disimpan.
Islam mengajarkan agar tidak membuka dan mengumbar-umbar rahasia. Anjuran ini berlaku untuk semua dan di mana pun ia memegang fungsi. Seorang suami, contohnya, berkewajiban menyimpan rahasia istri, anak, dan keluarganya. Demikian sebaliknya. Pada intinya, setiap anggota keluarga memiliki kewajiban yang sama, yaitu menutup rapat rahasia.
Saat Rasulullah SAW terbaring sakit, para istri Rasul berkumpul. Tak satu pun dari mereka yang meninggalkan tempatnya. Hingga Fatimah, putri Rasulullah, datang menjenguk dengan berjalan kaki. Kedatangannya pun disambut oleh Aisyah kemudian diterima dengan hangat oleh ayahnya. Putri yang berjuluk az-Zahra itu pun duduk di dekat Rasulullah.
Tak berselang lama, Rasulullah membisikkan sesuatu kepada Fatimah, kemudian ia menangis sekeras-kerasnya. Melihat kecemasan muncul dari wajah putrinya itu, Rasul lantas kembali menyampaikan sesuatu kepadanya. Seketika itu pula tangisnya berganti riang senyum dan tawa. Pemandangan itu terlihat jelas di mata Aisyah.
Perempuan bergelar Ummul Mu'minin (Ibu Kaum Mukmin) itu pun penasaran dan bergegas bertanya kepada Fatimah apa gerangan yang dibisikkan oleh Rasulullah kepada putrinya ter sebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Fatimah. Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah, katanya menampik.
Rahasia itu akhirnya dibeberkan sepeninggal Rasulullah. Isinya meliputi dua hal, yaitu ajal Rasulullah yang kian dekat dan apresiasi Rasul kepada anaknya itu berupa gelar pemimpin perempuan bagi orang mukmin.
Kisah lainnya juga pernah dinukilkan. Ketika tengah bermain bersama anak-anak, Anas bin Malik RA pernah didatangi oleh Rasululllah SAW. Setelah mengucapkan salam, Rasul mengutusku untuk suatu keperluan sehingga ia terlambat pulang untuk menemui ibunya, Ummu Salim. Setibanya di rumah, sahabat yang mendapat julukan Khadim ar-Rasul (Pelayan Rasulullah) itu langsung mendapat pertanyaan dari ibunya perihal sebab keterlambatannya itu. Apakah yang menahanmu hingga terlambat pulang? tanya sang ibu.
Sahabat yang berasal dari suku Khazraj itu pun enggan menjawab. Cukup mengatakan bahwa ia terlambat sebab keperluan yang disuruh Rasulullah. Keperluan apa yang dimaksud? Itu rahasia, katanya mengelak. Ummu Salim memahami dan meminta agar ia tetap menjaga rahasia itu.
Janganlah kamu sekali-kali membuka rahasia Rasulullah SAW kepada siapa pun, pintanya.
Atas dasar inilah, menjaga rahasia yang sifatnya terpuji merupakan salah satu bentuk amanah, salah satu jenis memenuhi janji, dan tanda perilaku yang tenang. Menjaga rahasia yang terpuji adalah menyembunyikan rahasia atau aib orang lain yang dipercayakan kepada seseorang untuk menyimpannya.
Berhati-hati Karena itu, menurutnya, pemilik rahasia semestinya berhati-hati menempatkan rahasia pribadinya. Pasalnya, orang-orang yang meminta amanat atau kepercayaan biasanya akan berlaku khianat. Ra hasia yang kurang terjaga dengan baik akan mudah tersebar. Ada beberapa faktor pe nyebabnya, antara lain, banyaknya orang yang mengetahui rahasia ter- sebut.
Sekali saja rahasia itu disebarkan kepada lebih dari satu hingga tiga orang, maka tak lagi dianggap rahasia. Ali bin Abi Thalib berkata, Rahasiamu ada- lah tawananmu. Jika kamu telah membicarakannya kepada orang lain, berarti kamu telah melepaskannya.
Mahmud menambahkan, dampak yang bisa muncul akibat rahasia tersebar luas sangat luar biasa, di antaranya menyebarkan rahasia berarti mengkhianati amanah dan merusak perjanjian. Membuka rahasia dapat menghapus marwah, merusak persaudaraan, dan memicu pertikaian.
Sebaliknya, dengan mengunci erat rahasia akan menempatkannya dalam derajat manusia yang sempurna. Termasuk, memberikan banyak faedah dunia ataupun di akhirat kelak.