REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mengunjungi satu daerah ke daerah yang lain. Tetapi, bagaimana dengan Muslimah? Bolehkah ia bepergian sendirian tanpa didamping mahramnya?
Isu tersebut masih menjadi perbincangan yang seksi. Termasuk, di kalangan lembaga fatwa di sejumlah negara Timur Tengah. Sebagian memperbolehkan perempuan melancong tanpa didampingi mahram dengan ketentuan tertentu, sedangkan pihak yang lain berpandangan hal itu tidak diperbolehkan berdasarkan rentetan argumentasi.
Lembaga Fatwa (Dar al- Ifta') Mesir menyatakan, seorang perempuan boleh bepergian tanpa didampingi mahramnya dengan syarat-syarat tertentu, yaitu yang bersangkutan tetap terjaga baik agama, jiwa, kehormatan selama dalam perjalanan. Apa pun kategori perjalanan yang ia tempuh, apakah perjalanan yang bersifat wajib, seperti haji, sunah, seperti umrah, ataupun melancong biasa.
Dar al-Ifta'' mengutip sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Bukhari dari `Adi bin Hatim. Hadis itu menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyebut akan datang suatu masa tatkala Muslimah bepergian sendiri ke Makkah lalu berthawaf dan ia tak takut apa pun, kecuali Allah SWT.
Hadis ini, menurut lembaga yang kini diketuai oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam tersebut, membatasi generalisasi dalil yang melarang seorang perempuan keluar tanpa didampingi mahram. Karenanya, sebagian mujtahid berpatokan pada hadis tersebut untuk hu kum bolehnya perempuan ke luar sendiri tanpa mahram, dengan catatan ketentuan di atas terpenuhi.
Bisa jadi, indikator larangan yang tertuang dalam hadis yang tidak memperbolehkan ter sebut lantaran situasi dan kondisi ketika itu yang tidak memungkinkan. Seperti, jarak yang jauh, minimnya transportasi dan telekomunikasi, ser ta keamanan yang meng kha- watirkan.
Di sisi lain, urai lembaga yang pernah digawangi Mufti Agung Syekh Ali Jum'ah ter- sebut, mayoritas ulama juga me mandang boleh hukumnya Muslimah pergi haji tanpa mahram bila ia bersama dengan rombongan Muslimah yang bisa dipercaya. Ini pernah terjadi di masa Umar bin Khatab, ketika para istri Rasul berangkat haji sepeninggal suami mereka.
Beberapa nama cendekiawan Muslim juga mengamini opsi ini. Di antaranya, Syekh Yusuf al- Qaradhawi, Syekh Ibnu Jarin, dan Syekh Abd ar-Razzaq Afifi . Menurut mereka, selama ketentuan aman terpenuhi maka perempuan boleh saja bepergian sendirian tanpa didamping mah-ram. Apalagi, transportasi masa kini telah memudahkan mobilitas tersebut.
Sedangkan, pendapat yang kedua menegaskan, apa pun alasan dan tujuannya, seorang Muslimah haram hukumnya melancong tanpa didampingi mahram. Sekalipun tujuan bepergian adalah untuk menunaikan ibadah haji. Fatwa ini, antara lain, ditegaskan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi, berikut Dewan Senior Ulama mereka.
Fatwa tersebut merujuk hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas. Hadis itu menegaskan, perempuan Muslimah dilarang pergi tanpa keberadaan mahram di sisinya.
Di riwayat lain, Ibnu Abbas mengisahkan, seorang sahabat berkata, istrinya akan pergi haji sementara di waktu yang bersamaan dirinya berhalangan menemani lantaran tugas berji- had. Rasul menegur sahabat tadi. Pergi dan berhajilah bersama istrimu, titah Rasul.
Sekali lagi Muslimah, papar lembaga yang pernah dipimpin oleh Syekh Abd al-Aziz bin Ab dullah bin Baz tersebut, pe rempuan haram keluar tan pa didampingi mahram yang menjaga dan membantu keper luannya. Sedangkan, kate- gori mah ram, antara lain, siapa pun yang haram dinikahi seca ra mutlak, entah akibat hubungan darah, persusuan, atau pernikahan.
Beberapa, misalnya ayah, putra, saudara laki-laki, paman, keponakan, dan lainnya. Ketentuan yang sama juga berlaku untuk semua Muslimah tanpa memandang batasan usia.
Demikian pula, apakah yang ber sangkutan bersama teman sesama perempuan atau rombongan berkelompok. Sekumpulan perempuan tidak bisa menggantikan posisi seorang mah ram.
Ini berdasarkan dengan ketentuan hadis Ibnu Abbas di atas yang bersifat umum. Oleh karena itu, hendaknya Muslimah tetap bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar larangan-Nya.