REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia telah melahirkan sejumlah terjemahan Alquran yang terus bertambah selama masa kolonial dan setelah kemerdekaan. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan bahasa daerah yang sangat banyak. Fakta ini juga tecermin dalam sejumlah besar terjemahan Alquran yang diproduksi dalam bahasa-bahasa daerah.
Keistimewaan ini pun menjadi diskusi para ahli tafsir di Indonesia. Hal ini tak luput juga dari ahli tafsir di luar negeri, Johanna Pink, yang merupakan profesor bidang Studi Islam Alberd-Ludwig Universität Freiburg, Jerman. Oleh karena itu, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta pun menggelar Konferensi Internasional dan Workshop bertema "The Translation of The Qur’an in Indonesia”.
Bagi Johanna Pink, isu terjemahan Alquran di Indonesia itu unik. Penerjemahan Alquran di Indonesia itu tidak mono-languange (satu bahasa), tetapi ada bahasa-bahasa lokal di Indonesia.
“Belum lagi produk terjemahan Alquran yang dipengaruhi oleh modernisme, penafsiran tertentu, kepentingan politik, dan ideologi tertentu,” kata Pink, Selasa (31/7).
Selain itu, Johanna juga melihat masih jarang kajian-kajian tentang terjemahan Alquran di Indonesia. Workshop dan konferensi ini diharapkan bisa memantik kajian-kajian terjemahan Alquran di Indonesia secara masif dan luas.
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noorhaidi, mengatakan, panitia telah menerima 80-an karya ilmiah yang dikirim oleh peserta. Dari jumlah itu, akan dipilih 28 yang terbaik dan dipresentasikan di konferensi ini.
“Dari 28 paper akan dipilih dan disaring lagi untuk kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit di luar negeri. Sebagiannya lagi akan diterbitkan di jurnal-jurnal internasional terakreditasi dan jurnal di kampus-kampus Indonesia yang terakreditasi nasional,” kata Noorhaidi.
Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Moch Nur Ichwan pun menjelaskan, pelarangan terjemahan (literal) Alquran pertama muncul di era modern, dalam bentuk fatwa. Fatwa yang muncul lebih awal adalah yang dikeluarkan Muhammad Rasyid Ridha (1908). Kedua, yang dikeluarkan oleh Sayyid Utsman dari Batavia (sekarang Jakarta) pada 1909.
Menurutnya, fatwa Sayyid Utsman mengenai terjemahan Alquran dilarang karena terjemah dianggapnya sebagai pengubahan teks (tahrif) yang dapat menyebabkan penerjamahnya menjadi heretik dan kafir, sementara interpretasi atau terjemahan penafsiran Alquran diperbolehkan. Pendapat seperti itu kemudian diadopsi sebagian besar orang yang menentang terjemahan Alquran dan kebanyakan tanpa mengetahui fatwanya.
Termasuk Muhammad Thalib dalam bukunya yang mengkritik terjemahan Alquran dari Departemen Agama dan dalam Tarjamah Tafsiriyyah-nya, yang tidak mengacu pada Sayyid Utsman dan fatwanya. “Fatwa Utsman tidak banyak diketahui umat Islam Indonesia sendiri. Oleh karena itu, hampir tidak berdampak pada perkembangan penerjemahan Alquran di Indonesia dan Muslim Indonesia pada umumnya. Terjemahan Alquran, bahkan dalam arti terjemahan harfiah, telah diproduksi di Indonesia, bahkan sampai hari ini,” kata Nur Ichwan.
Sebelumnya, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, menuturkan, Workshop dan Seminar Internasional ini merupakan langkah awal menuju world class university (WCU) bidang studi Islam. Program lain pendukung WCU adalah penerbitan jurnal studi Islam yang terakreditasi internasional atau nasional.