REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Internasional tentang Fatwa dan Isu-isu Kontemporer yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta berakhir Ahad (22/7).
“Konferensi tersebut telah menghasilkan sepuluh rekomendasi yang di antaranya menekankan agar senantiasa ada hubungan dan koordinasi di antara lembaga-lembaga fatwa di dunia Islam seiring terus munculnya masalah-masalah baru,” kata Sekretaris Panitia Pelaksana, Dr Andi Hadiyanto MA melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (23/7).
Selain itu, Andi Hadiyanto menambahkan, fatwa harus menjadi pengetahuan yang independen, tidak terkait dengan kepentingan politik dan sebagainya. “Konferensi itu juga merekomendasikan, hendaknya ilmu tentang fatwa diajarkan di kampus-kampus dan pondok-pondok pesantren, khususnya pondok-pondok pesantren yang mengkader calon hakim agama, imam masjid dan penceramah,” ujarnya.
Konferensi Internasional Tentang Fatwa dan Problematika Kontemporer digelaar di Jakarta, 20-22 Juli 2018. Konferensi tersebut menampilkan nara sumber para ulama terkemuka dari berbagai negara. Baik negara-negara di Timur Tengah, Australia, Rusia, Ukraina, dan Indonesia.
Pada hari Ahad (22/7) siang, para peserta konferensi dijamu makan siang oleh Dubes Qatar untuk Indonesia, Ahmad Bin Jassim Mohammed Ali Al-Hamar. Jamuan makan siang ini sekaligus sebagai akhir dari acara Konferensi Internasional tentang Fatwa dan Isu-Isu Kontemporer.
Para peserta yang hadir pada jamuan makan siang tersebut adalah Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta, KH A Syarifuddin Abdul Ghani MA, beserta jajaran panitia; Prof Syeikh Abdurazak Abdurahman Assa'di (Rusia), Prof Dr Muhammad Rawasydah (Yordania), Prof Adnan Assaf (Yordania), Syekh Dr Sa'dudin al Kabi (Libanon), dan Dr Rasyid al Haritsy (Oman).
Selain itu, Dr Haj Abdullah Dulabi (Iran), Syeikh Bilal Alabdaly (Irak), Syeikh Hasan Almanshuri (Irak), Dr Abdul Hamid Hilali (Maroko), Dr Fuad Assufy (Yaman), Dr Fuad Assufy (Yaman), dan Dr Muhammad Jawad As`ady (Iran).