REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tahun politik ini, masyarakat banyak yang mencemaskan isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) dijadikan alat politik. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang menolak keras SARA. Namun, Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin mengatakan, sejatinya SARA justru tidak boleh ditinggalkan dan akan selalu melekat pada diri manusia.
"SARA nggak boleh ditinggalkan. Agama nggak boleh ditinggalkan, identitas nggak boleh ditinggalkan. Yang nggak benar penampilan identitas atau ikatan SARA itu kalau ditampilkan dengan kebencian, kekerasan, dan untuk permusuhan. Jadi bukan SARA-nya atau identitasnya," ujar Din saat ditemui Republika.co.id usai konferensi pers di Kantor CDCC, Jakarta Selatan, Selasa (3/7).
Menurut Din, SARA itu melekat dalam diri manusia dan SARA juga melekat dengan seseorang yang beragama. Menurut Din, jangan salah dalam mempersepsikan SARA seolah-olah tidak baik.
"Saya sebagai Muslim saya menyandang SARA keislaman. Saya bersuku Sumbawa dan saya menyandang predikit kesukuan saya. Jadi mohon jangan kita salah persepsi," kata Din.
"Yang tidak baik kalau identitas atau ikatan premordial kita itu kemudian kita ekspresikan dengan secara negatif, eksklusif, secara agois, secara monopolistik," jelasnya.
Begitu juga dengan halnya politik identitas, menurut Din, politik identitas juga tak terelakkan karena identitas itu melekat pada diri manusia. Karena itu, dia berpendapat bahwa sah saja jika ada kelompok atau seseorang yang menampilkan politik identitasnya asalkan digunakan untuk tujuan yang baik, tidak menyulut kekerasan, tidak mengandung kebencian, dan tidak mengandung hal-hal negatif lainnya.
"Jangan semua itu disalahkan seolah-olah politik identitas itu tidak benar. Itu melekat dalam diri manusia dan diamalkan oleh semua orang. Saya kira semua kelompok agama di Indonesia juga menampilkan politik identitas," kata Din.