Selasa 03 Jul 2018 09:15 WIB

Konferensi Islam Wasathiyah Lahirkan Deklarasi Baghdad

Para peserta konferensi ingin menegaskan tentang kedudukan al-Quds (Yerusalem).

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Muchlis M Hanafi (kiri) dan Muhyiddin Junaidi (kanan) bertemu Menteri Wakaf Maroko,  Muhammad Taufik,  saat transit di Bandara Doha,  Qatar, sebelum ke Irak.
Foto: Kemenag
Muchlis M Hanafi (kiri) dan Muhyiddin Junaidi (kanan) bertemu Menteri Wakaf Maroko, Muhammad Taufik, saat transit di Bandara Doha, Qatar, sebelum ke Irak.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Konferensi internasional tentang Islam Wasathiyah dan Moderasi Beragama yang digelar di Baghdad, Irak, belum lama menghasilkan Deklarasi Baghdad. Deklarasi ini dibacakan bersama perwakilan 20 negara dalam acara penutupan konferensi pada 27 Juni lalu. 

Konferensi yang berlangsung selama dua hari ini juga diikuti tujuh delegasi dari Indonesia, yaitu: Ketua Delegasi Mukhlis M Hanafi yang juga mewakili Menteri Agama, Ketua Hubungan Luar Negeri MUI KH Muhyiddin Junaidi, alumni al-Azhar sekaligus mantan pemred Harian Republika, Ikhwanul Kiram Masyhuri, Saiful Mustafa, Fathir H Hambali, Auliya Khasanofa, dan Thobib Al-Asyhar. 

Muchlis M Hanafi mengatakan, pembacaan deklarasi tersebut dipimpin Utusan Khusus Grand Syeikh al-Azhar dan Ketua Delegasi Mesir, Prof Hamid Abu Thalib. "Deklarasi Baghdad menyuarakan kesepahaman bersama untuk terus mengampanyekan Islam wasathiyah. Juga menjadi komitmen bersama dalam sinergi melawan ekstremisme dan terorisme," ujar Muchlis dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/7).

Dengan membacakan Deklarasi Baghdad, menurut dia, para peserta konferensi ingin menegaskan tentang kedudukan al-Quds (Yerusalem) sebagai milik bangsa Arab dan selamanya akan menjadi ibu kota perdamaian dan kerukunan umat beragama. "Deklarasi itu untuk memberikan dukungan morel dan bersifat rekomendasi," katanya saat dihubungi Republika.co.id.

Dia menuturkan, setidaknya ada 10 rumusan yang dibacakan dalam deklarasi tersebut. Pertama, yaitu para peserta dari 20 negara akan membentuk koalisi internasional untuk membuat konsep dan strategi operasional tentang Islam yang wasathiyah.

Kedua, akan menggalang kerja sama internasional untuk memastikan keberhasilan melawan ekstremisme dan terorisme. Ketiga, akan membentuk lembaga untuk mengkaji kembali dan meluruskan sejarah yang telah memicu perselisihan dan perpecahan di masa lalu, tanpa mengabaikan hal-hal yang prinsip dalam kehidupan umat.

Keempat, akan mencarikan solusi terhadap gap permasalahan antara modernitas dan Islam secara objektif sesuai dengan konteks kekinian. Kelima, akan meluruskan pemahaman yang salah tentang Islam sebagai agama ekstrem, radikal, dan teroris dengan menegaskan bahwa teorisme tidak terkait dengan etnis, agama, ataupun aliran tertentu.

Keenam, akan membuat situs-situs keislaman yang menekankan pada prinsip wasathiyah dan moderat yang jauh dari ekstrem. Ketujuh, akan membuat majalah atau jurnal pemikiran Islam moderat. 

Kedelapan, akan membentuk komite tinggi ulama yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan luas, yang menginduk pada kementerian wakaf/agama dan tersebar di kota-kota negara Islam. Hal ini perlu untuk memantau isu yang tersebar dan apa yang disampaikan para penceramah, serta meresponsnya sebelum viral sesuai prinsip ajaran Islam.

Kesembilan, menegaskan kedudukan al-Quds (Yerusalem) sebagai milik bangsa Arab dan selamanya akan menjadi ibu kota perdamaian dan kerukunan umat beragama. Poin terakhir, peserta konferensi menolak klaim sepihak dari zionis Israel yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kotanya, dan mengajak ulama Islam untuk menolak keputusan yang nista tersebut.

Delegasi Indonesia yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam konferensi tersebut, KH Muhyiddin Junaidi, menyambut baik Deklarasi Baghdad. Karena, menurut dia, deklarasi tersebut sebuah langkah yang maju untuk menghindari konflik yang sama pada masa yang akan datang, khususnya di Irak dan negara yang dilanda kelompok radikalis dan ekstremis.

"Tapi, deklarasi tersebut tidak berarti apa-apa apabila tidak ada semacam koordinatornya di setiap negara. Karena kalau tidak diseriusi, deklarasi tersebut hanya sebuah dokumen yang agak susah diimplementasikan di lapangan," ujar Muhyiddin saat dikonfirmasi.

Dia mengatakan, ke depannya juga perlu ada komunikasi secara intensif antara ulama dan pemerintah terkait konsep Islam wasathiyah. Karena, menurut dia, konsep tersebut sesungguhnya sangat fleksibel dilaksanakan oleh pemerintah di setiap negara Islam.

Selain itu, kata dia, antara pimpinan Islam dan pemerintah juga perlu menjaga hubungan yang baik guna menerapkan prinsip-prinsip dasar wasathiyah tersebut. "Antarumat Islam, terutama ormas Islam, juga perlu memiliki sikap yang sama dalam memahami Islam wasathiyah dan konsepsinya sehingga kalaupun ada perbedaan dari sisi furuiyah, tidak menjadi hambatan," kata Muhyiddin.

Sebelumnya, para ulama dan cendekiawan dari berbagai dunia juga telah membahas tentang Islam wasathiyah dalam kegiatan Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia di Hotel Novotel, Bogor, Kamis (3/5) lalu. Kegiatan ini juga menghasilkan rumusan Pesan Bogor. 

"Jadi, apa yang disampaikan di Bogor itu dari sisi konsepsi dan impelemntasi. Nah, di Irak ini mereka sudah sangat membutuhkan penerapan Islam wasathiyah di dunia nyata. Jadi, bukan hanya sekadar teori dan konsep," ujar Muhyiddin menjelaskan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement