REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik suap menjadi salah satu musuh besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Termasuk dalam usaha reformasi aparatur negara. Praktik suap seolah sudah masuk semua lini. Bukan hanya menimpa pejabat tinggi, aparatur pemerintah di level bawah pun terindikasi akrab dengan praktik ini.
Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seseorang melakukan suap karena keterpaksaan. Pasalnya, lingkungan tertentu membuat seseorang mau tidak mau mengeluarkan suap untuk memperlancar urusan. Lalu apakah boleh melakukan suap karena keterpaksaan?
Pada dasarnya suap itu masuk dalam kategori risywah. Praktik risywah jelas sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu." (QS an-Nisa' [4]:29).
Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan, "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]:188).
Ancaman keharaman suap ini berlaku bagi tiga golongan, yakni pemberi suap (ar-rasyi), si penerima (al-murtasyi), dan penghubung antara keduanya (ar-raa'sy).
Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT sangat murka (melaknat) orang yang menyuap dalam bidang hukum, orang yang menerima suap dan orang yang menjadi penghubung di antara keduanya." (HR Ahmad)
Begitu berbahayanya suap sehingga setiap pihak yang terlibat di dalamnya jatuh ke dalam larangan tersebut. Maka seseorang tak boleh memberikan sesuatu kepada pejabat dengan harapan dimudahkan urusannya.
Begitu juga sang pejabat tidak boleh menerima sesuatu sebagai imbalan agar urusan yang berkaitan dengan kuasa diberi kemudahan. Termasuk orang yang menghubungkan antara sang pemberi dan penerima.
Dalam suap terkandung banyak unsur kezaliman, seperti mengambil hak orang lain, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan bisa memengaruhi keputusan penguasa yang merugikan pihak lain.
Lalu bagaimana jika seseorang sebenarnya tidak ingin memberi suap tetapi terpaksa? Beberapa ulama membolehkan memberi sesuatu kepada orang yang berkuasa dengan beberapa syarat.
MUI DKI Jakarta dalam salah satu poin fatwanya pada 25 April 2000 menyebutkan jika ada suap yang diperbolehkan. Klausul ini hanya diperuntukkan bagi yang memberi, bukan yang menerima.
Jika seseorang melakukan suap karena terpaksa untuk membela, mempertahankan, atau merebut hak, menurut MUI DKI Jakarta, hal itu diperbolehkan. Namun, bagi penerima, suap tersebut tetaplah haram.
Bagi pemberi diperbolehkan karena jika tidak memberikan suap (risywah), dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu.
Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap. Berbagai cara sudah dilakukan agar suap tersebut tidak dilakukan. Sementara, kebutuhannya sangat mendesak. Maka bagi pemberi suap seperti ini tak masalah. Namun, bagi penerima, tetaplah ia masuk kategori risywah.
Ustaz Bachtiar Nasir juga mengamini jika ada sedikit pengecualian bagi seseorang yang melakukan suap dengan jalan amat terpaksa.
Menurut Ustaz Bachtiar, jumhur ulama memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.
Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang, pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Sementara, jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut.
Ustaz Bachtiar memberikan catatan jika kedaruratan tersebut tidak berarti boleh terus-menerus dilakukan. Jika pekerjaan tersebut membuat terus-menerus harus menyogok, sifat keterpaksaannya menjadi hilang. Hukumnya pun menjadi hukum asal risywah baik pemberi maupun penerima mendapat dosa besar.
Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Nawawi dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin. Menurutnya, jika orang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realitas, memberi suap hukumnya haram. Sedangkan, suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.