Senin 02 Jul 2018 11:21 WIB

Pengaruh India dalam Sains Islam

Pengaruh India terbentang luas mulai dari matematika, astronomi, hingga ilmu lainnya

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Kemegahan dan keindahan Benteng Agra peninggalan Kerajaan Mughal di Agra, India, selalu menjadi daya tarik pelancong untuk mengenal lebih jauh benteng yang dibangun awal abad ke-15 Masehi ini. Benteng Agra terletak 2,5 kilometer dari Taj Mahal, situs waris
Foto: Antara
Kemegahan dan keindahan Benteng Agra peninggalan Kerajaan Mughal di Agra, India, selalu menjadi daya tarik pelancong untuk mengenal lebih jauh benteng yang dibangun awal abad ke-15 Masehi ini. Benteng Agra terletak 2,5 kilometer dari Taj Mahal, situs waris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak pertengahan abad ke-10, sejarah besar sains telah berkembang di seluruh kawasan Islam, salah satunya di India. Seperti halnya renaisans (zaman pencerahan) di Eropa, perkembangan sains Islam ditandai dengan banyaknya pertukaran budaya serta munculnya berbagai gagasan dan penemuan individu.

Hubungan antara ulama atau ilmuwan Muslim dengan orang-orang yang hidup di zamannya serta pendahulunya membuat penyatuan ilmu pengetahuan, dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dari generasi ke generasi dan dari berbagai benua.

Peradaban Lembah Sungai Indus terbukti menjadi sumber yang luas dari ilmu pengetahuan, yang secara bertahap kemudian diketahui oleh orang-orang Barat melalui naskah- naskah terjemahan ke Bahasa Arab dan Persia.Peradaban Lembah Indus merupakan perdaban kuno yang hidup di sepanjang Sungai Indus yang sekarang merupakan wilayah Pakistan dan India Barat.

Uniknya, di kawasan tersebut tidak ditemukan bangunan keagamaan dan tanda-tanda sistem kasta. Hal ini membuat para peneliti menduga bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut hidup bergantung sepenuhnya pada ilmu pengetahuan.

"Dari pengamatan para filsuf hingga perhitungan matematikawan, dari model para astronom hingga risalah para tabib, karya- karya ini membantu membentuk suatu era yang dikenal sebagai zaman keemasan sains Islam, dan jauh di kemudian hari jadi milik kita sendiri," kata Penulis Sejarah Ilmu Pengetahuan Budaya Dunia, Alok Kumar dalam sebuah artikel di aramcoworld, beberapa waktu lalu.

Filsafat Alam

Setelah masa penaklukan Islam di India berakhir, beberapa penguasa seperti Kaisar Mughal Akbar Agung atau Jalaluddin Muhammad Akbar pada abad ke-16 dan awal 17 memfasilitasi penerjemahan literatur India ke bahasa Persia dan Arab.

Beberapa buku terkenal India yang diterjemahkan antara lain Mahabharata, Yogavasistha, Bhagavad-Gita, dan Bhagavata Puranawere. Pandangan paling mendasar yang terkandung dalam teks-teks ini adalah tentang inti filsafat alam.

Dalam hal ini, alam semesta selalu dipandang dalam kondisi perubahan yang konstan, antarelemen saling berhubungan, dan alam diciptakan secara bertahap. Buku Yoga Vasistha, misalnya, karya terpenting dalam filsafat Hindu ini memuat cerita dan dongeng hampir 30 ribu sloka (sajak).

Buku ini menjelaskan berbagai realitas, beragam moral, dan nasihat yang luar biasa.

Salah satu bagian terpenting dari Yoga Vasishthaadalah doktrin mengenai pikiran.

Menurut buku ini, ketika pikiran ber getar, dunia menjadi (ada), ke tika pikiran berhenti bergetar, dunia hancur. Hal ini senada dengan pan dangan bapak filsafat modern Descartes, filsuf yang terkenal dengan ucapannya cogito ergo sum.

Di bawah pemerintahan pewaris takhta kaisar Mughal kelima, Dara Shukoh, ada sekitar 50 karya utama India yang diterjemahkan, di antaranya Kitab Upanishad, yang merupakan bagian puncak dari naskah Weda.

Karya terjemahan itu kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin pada abad ke-18 oleh Anquetil Duperron dari Prancis. Buku tersebut pada akhirnya dibaca oleh filsuf terkenal Jerman abad ke-19 yaitu Arthur Schopenhauer. Dia begitu terkesan oleh universalitas pesan buku tersebut,sehingga dia menyimpan salinan buku itu di atas meja dekat tempat tidurnya.

Banyak hal yang dipelajari Jalaluddin Muhammad Akbar dan penerusnya. Begitu juga ber abad-abad sebelumnya. Selama bertahun-tahun di India, khususnya pada abad ke-11, Abu al-Rayan al-Biruni, seorang yang sangat mahir dari Kath di Asia Tengah, mempelajari bahasa Sansekerta dan meneliti seni, sastra, serta sains.

Dia bahkan menganalisis metafisika dalam teks Weda dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Arab. Dalam bukunya sendiri, Kitab Ta'rikh al-Hind(Kitab Sejarah India), ia memperkenalkan para pembaca Muslim kepada budaya sains India.

Dalam pengantar buku itu, al-Biruni mengakui, meskipun ada hambatan budaya dan bahasa, bukunya adalah upaya untuk menawarkan fakta penting bagi setiap Muslim yang ingin berbicara dengan umat Hindu dan untuk mendiskusikan dengan mereka tentang agama, sains, atau sastra.

Dia juga mengidentifikasi hubungan antara ilmu pengetahuan India dan sastra, terutama dalam Kalila wa Dimna(Kalila dan Dimna), sebuah buku terkenal di Timur Tengah pada awal abad pertengahan.

Menggunakan dongeng hewan (Kalila dan Dimna adalah serigala), buku ini menceritakan kisah-kisah tentang perilaku manusia dan seni pemerintahan.

Setelah masuknya Islam ke wilayah itu, penulis dan pemikir abad ke-8, Ibnu al-Muqaffa menerjemahkan karya tersebut ke dalam bahasa Arab dan memberi judul Kalila wa Dimna.

Meskipun diberi judul yang berbeda, Kalila wa Dimna menjadi salah satu karya sastra yang paling banyak dibaca di dunia, populer di seluruh Asia serta Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa hingga abad ke-18.

Di India sendiri, seperti di kebanyakan negara Muslim, Kalila dan Dimna terus-menerus dibaca untuk mengajar anak-anak dan orang dewasa tentang sifat manusia dan perilaku yang baik. Bahkan, sekarang ini buku tersebut kerap dipamerkan di berbagai tempat seperti di Manama (Bahrain) bahkan di Indianapolis (Amerika Serikat).

Matematika

Melampaui filsafat dan dongeng, teks-teks kitab Weda berusaha memahami kosmos dan cara kerjanya, termasuk siklus penciptaan, dan gerakan planet. Matematika modern seperti yang kita tahu, tidak akan terbayangkan tanpa sumbangsih pemikiran filsuf India, Bhaskara, terhadap buku Aryabhatiya yang ditulis dalam bahasa Sansekerta oleh Aryabhatiya, astronom India yang paling awal dikenal.

Aryabhatiya mempelajari rotasi benda-benda langit seperti planet serta teknik-teknik canggih untuk berhitung. Buah pikir Bhaskara tentang hal itu mewakili salah satu tulisan populer pertama tentang konsep nol, yang kemudian diberi simbol berupa sebuah lingkaran.

Konsep dasar yang hampa, kosong atau tidak ada itu sendiri merupakan elemen penting dari kosmos. Pemahaman itu telah ada dalam budaya sains Lembah Indus sejak periode sangat awal.

Bahwa ini harus berevolusi menjadi simbol numerik sehingga mungkin tampak logis dalam sistem matematika yang dirancang untuk menggambarkan dan memprediksi gerakan alam semesta.

Ketika para pemikir Arab dan Persia belajar tentang nol, mereka telah menerjemahkan kata-katanya dalam bahasa Sansekerta, yakni `sunya' yang berarti kosong, atau dalam bahasa Arab disebut `sifr'.

Pada awal tahun 1100-an, ketika karya-karya Arab pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Adelard menyebutnya cifrae. Satu abad setelah itu, Fibonacci menyebutnya zephir. Dari sana, istilah ini kemudian menjadi zero dalam bahasa Prancis modern awal, dan dalam bahasa Inggris, zero.

Dua ahli matematika dan astronomi Lembah Indus, Bhaskara dan Brahmagupta telah membantu mengembangkan sistem desimal, yaitu sistem penomoran 10 digit. Dari seorang matematikawan dari Arab pada abad ke-10, Abu al-Hasan Ahmad bin Ibrahim al-Uqlidisi, kita mengetahui bahwa sebelum diperke nalkannya angka-angka dari India, dunia Islam me nyatakan angka melalui sistem surat, seperti sistem angka Romawi. Sekitar abad ke- 7 M, kemudian sistem berbasis Lembah Indus menjadi kompetitif.

Orang-orang Lembah Indus pada awalnya menggunakan tablet (takhta dalam bahasa Arab) yang ditutupi lapisan serbuk gergaji atau pasir untuk menulis angka dan melakukan perhitungan matematis. Dunia Arab mengadopsi praktik komputasional ini, dan menyebutnya sebagai hisab al-gubar (aritmatika papan- debu).

Salah satu dokumen paling awal yang menjelaskan medium perhitungan ini adalah karya abad ke-11 oleh seorang sarjana dan hakim Said al-Andalusi dari Cordoba berjudul Tabaqat al-`Umam(Buku Kategori Bangsa-bangsa). Karya al-Andalusi ini memberi keper cayaan kepada para ilmuwan Lembah Indus dalam membuat langkah besar dalam mempelajari angka.

Tidak kalah pentingnya bagi matematika modern adalah karya-karya Muhammad ibnu Musa al-Khawarizmi. Lahir pada akhir abad ke-8 di Khiva, Uzbekistan, al-Khawarizmi pindah ke Baghdad pada masa pemerintahan al-Ma'mun. Di sana, ia menjadi guru dan sarjana di Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang terkenal sebagai pusat seni penerjemahan dan lumbung ilmu pengetahuan.

Dalam Kitab al-Jabr wa al-Muqabala, al- Khawarizmi menjelaskan tujuannya menulis kitab ini, yaitu: `'[Untuk mengajar] Apa yang paling mudah dan paling berguna dalam aritmatika, seperti yang selalu dibutuhkan pria dalam kasus warisan, tuntutan hukum, perdagangan, dan dalam semua hubungan mereka satu sama lain, atau dalam hal mengukur tanah, penggalian kanal, perhitungan geometri, dan objek lain dari berbagai jenis dan jenis yang bersangkutan''.

Kitab al-Jabr wa al-Muqabala kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mampu memberikan dampak signifikan di Eropa. Salah satu bagian dari judulnya, yakni `al-Jabr' (restorasi) kemudian menjadi identik dengan teori persamaan yang kita kenal sekarang sebagai al-Jabar.

Astronomi

Sebagai seorang astronom Lembah Indus, Brahmagupta tinggal di India bagian utara-tengah, tepatnya di Ujjain. Kala itu, ia meng atur kotanya sebagai Greenwich dunia kuno dengan menghubungkannya dengan nol bujur. Sebagai astronom yang tekun, ia menghitung siklus dan posisi matahari dan bulan sebagai rutinitas kerja sehari-hari.

Karya Brahmagupta meraih popularitas dan pengaruh signifikan di Timur Tengah.Kitab ini diterjemahkan lebih dari satu kali ke dalam bahasa Arab. Al-Khwarizmi juga mengembangkan tradisi ziy dalam astronomi Islam.

Istilah yang lahir dari bahasa Pahlavi ini mengandung arti benang atau kabel. Hal ini mengacu pada tabel operasi yang me mungkinkan para astronom me nentukan posisi matahari, bulan, bintang, planet, waktu shalat, dan lainnya.

Obat-obatan

Teks dan gagasan medis India juga berpengaruh kuat dalam lingkaran sains Islam. Al-Tabari, seorang sarjana awal abad kesem bilan dari Tabaristan yang kemudian menjadi dokter sekaligus penasihat Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad, menulis sebuah buku ensiklopedi tentang obat-obatan, Firdaw al- Hikmah(Surga Kebijaksanaan).

Buku ini berisi sekitar 36 bab dan mengacu pada karya-karya dokter India ternama, seperti Caraka, Susruta, Madhavakara, dan Vagbhata II. Al-Tabari mencurahkan banyak ruang untuk pengobatan Ayurvedic, ilmu yang lahir dari peradaban Lembah Indus awal dan dicatat dalam literatur Sansekerta.

Pemikiran al-Biruni tentang obat- obatan juga dipengaruhi oleh tradisi India. Dalam karya-karyanya terdapat kutipan-kutipan dari Caraka Samhita, teks medis yang pertama kali ditulis dalam Bahasa Sansekerta sebelum abad kedua Masehi. Satu abad sebelum al-Biruni, al-Kindi dari Baghdad menulis formularium medis yang disebut Aqrabadhin(Farmakologi). Terjemahan bahasa Inggris dari karya ini diterbitkan oleh Martin Levey, seorang profesor bahasa Semit, kimia, dan matematika dari Amerika.

Menurut Levey, sekitar 13 persen buku berasal dari Lembah Indus. Dalam pandangannya, banyak karya yang awalnya disebut berasal dari Persia sejatinya datang dari India. Karena itu, ia berkesimpulan, sepertiga dari tanaman dan obat-obatan yang dijelaskan awalnya berasal dari India.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement