REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai aktivis Nation of Islam (NOI), Malcolm menggunakan banyak ke sempatan untuk menyuarakan perlawanan terhadap rasisme dan superioritas kulit putih. Dia berupaya membangkitkan kesadaran dan harga diri kaum kulit hitam, terutama melalui pendidikan.
NOI pusat memercayakannya sebagai kepala cabang di Harlem, New York. Mulai era 1960-an, namanya sudah terkenal sebagai pembela hak-hak kulit hitam di tingkat nasional.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat itu mulai menudingnya dengan pelbagai dalih, mulai dari simpatisan komunis, hingga ancaman bagi keamanan negeri. Keseharian Malcolm di ruang publik tidak lepas dari mata-mata penguasa.
Sekitar tengah malam pada 27 April 1962, kerusuhan pecah antara massa Muslim dan aparat kepolisian di dekat suatu masjid di Los Angeles. Bahkan, masjid itu sempat diserbu oleh petugas-petugas polisi yang memburu sejumlah pemuda. Tujuh orang Muslim tertembak.
Beberapa hari setelah itu, sejumlah orang sipil ditahan, tetapi tak ada satu sanksi pun terhadap aparat. Malcolm X mengutuk keras kejadian ini sebagai kekerasan negara atas orang-orang yang tak bersenjata di dalam rumah ibadah yang seharusnya dihormati kesuciannya.
Tak disangka, pimpinan NOI justru cenderung datar dalam menilai peristiwa tersebut. Hal ini dan beberapa peristiwa lainnya menjadikan perbedaan pemahaman antara Malcolm X dan Elijah Muhammad kian lebar. Puncaknya, pada 1964 Malcolm X mendirikan organisasi sendiri, yakni Organisasi Persatuan Afro-Amerika (OAAU).
Dengan gencar, dia berkampanye tentang gagasan Pan-Afrikanisme, mengimbau kaum kulit hitam di seluruh dunia agar bersama-sama memerangi rasisme yang memakai dalih superioritas kulit putih maupun kulit hitam. Namanya pun kian berkibar sebagai tokoh sipil yang disegani, baik di dalam maupun luar negeri AS.
Tersentuh Haji
Pada tahun yang sama Malcolm X berkesempatan menunaikan ibadah haji. Kunjungan ke Tanah Suci pun dilanjutkannya dengan menemui sejumlah tokoh sipil di negara-negara Asia Barat dan Afrika. Di Kairo, Mesir, dia mengikuti forum Organisasi Persatuan Afrika (OAU), sebagai utusan OAAU. Pangeran Faisal dari Arab Saudi bahkan mengundangnya sebagai tamu negara.
Demikian pula dengan para pemimpin lainnya, yakni Kwame Nkrumah dari Ghana, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan pemimpin revolusioner Aljazair Ahmed Ben Bella. Malcolm X juga didaulat sebagai pembicara di kampus tertua di Nigeria, Universitas Ibadan.
Bagaimanapun, bukan macam-macam penghormatan itu yang paling berkesan di dalam hatinya. Keagungan ibadah haji itulah yang memesona Malcolm X. Katanya Dia berkata, "Mereka bertanya apa kesan yang paling mendalam bagi saya dari ibadah haji. Saya katakan, kebersamaan! Orang-orang dari segala ras, warna kulit, asal negara di dunia semua datang bersama-sama sebagai satu (umat)!" Lebih lanjut, seperti tergambar dalam autobiografinya, Malcolm X ingin agar Amerika Serikat (AS) belajar banyak hal dari Islam.
Menurut dia, Amerika sudah sepantasnya memahami agama ini dari dekat. Karena Islam adalah satu-satunya agama yang menghapus segala masalah rasial dari semua masyarakat. "Anda boleh jadi terkejut mendengar kata-kata ini keluar dari mulut saya. Tetapi, dari ibadah haji ini, apa yang saya lihat, saya alami, telah membuat saya mengubah pola-pola pikir yang sebelumnya saya yakini," ujar Malcolm X.
Perubahan itu tampak dari caranya melihat kaum kulit putih. Di Tanah Suci, dia menjumpai banyak orang kulit putih yang ramah terhadapnya. Mereka sama sekali memandangnya sebagai sesama manusia.
Muncul kesadaran yang teguh bahwa Allah menciptakan perbedaan rasial atau kebangsaan semata-mata agar manusia saling mengenal. Malcolm X menyebut kesadaran ini timbul dari dialognya dengan para tokoh negara-negara Afrika.
"Menyimak (pemikiran) para pemimpin, seperti Nasser, Ben Bella, dan Nkrumah telah menyadarkan saya tentang bahaya rasisme. Saya akhirnya menyadari, rasisme tidak hanya soal hitam dan putih. Ini lebih sebagai pemicu pertumpahan darah di tiap bangsa di muka bumi," ujarnya dalam wawancara dengan jurnalis kulit hitam AS, Gordon Parks.
Setelah menjadi seorang haji, Malcolm X merasa ancaman kian dekat padanya. Kepada Gordon Parks dia sempat mengungkapkan, justru orang-orang dari NOI kini mulai memburunya. Perasaan itu akhirnya terbukti nyata benar.