REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Malcolm X dikenang sebagai seorang tokoh kulit hitam Amerika Serikat (AS). Namanya kerap disejajarkan dengan para legenda perjuangan hak-hak sipil, seperti Ella Baker, Marthin Luther King Jr, atau Frederick Douglass.
Tokoh yang lahir di Nebraska pada 19 Mei 1925 itu juga masyhur sebagai seorang Muslim Amerika yang bangga akan agamanya. Sejak memeluk Islam serta menunaikan haji, dia mengganti namanya menjadi El Hajj Malik el-Shabazz.
Malcolm X merupakan orang Afro-Amerika yang sepanjang hayatnya berjuang untuk kesetaraan hak rasial. Dia lahir dengan nama Malcolm Little. Anak ketujuh dari 11 bersaudara ini tumbuh di lingkungan kelas bawah yang menderita akibat rasisme.
Orang tuanya, Earl Little dan Louise Helen Norton Little, merupakan mantan aktivis Asosiasi Perbaikan Hidup Universal Kaum Negro (UNIA). Dari mereka Malcolm dan saudara-saudaranya diajarkan untuk tidak pernah merasa rendah diri dengan identitas rasialnya.
Keluarganya terpaksa harus berpindah-pindah tempat tinggal lantaran sering diganggu kelompok-kelompok superioritas kulit putih, terutama Klu Klux Klan (KKK) dan Black Legion. Pada 1929, rumahnya sempat dibakar grup yang tersebut belakangan itu.
Duka berikutnya, Earl Little tewas dalam sebuah kecelakaan yang diduga merupakan skenario Black Legion. Ketika itu, Malcolm masih berusia enam tahun.
Kehidupan keluarga Little pun semakin susah. Untuk menafkahi anak-anaknya, Louise bekerja ekstra keras dari pagi sampai malam. Sayangnya, pada 1938, ibunda Malcolm ini mengalami depresi berat. Malcolm dan saudara-saudaranya bahkan sempat diungsikan ke panti asuhan, sementara Louise masuk rumah sakit bertahun-tahun lamanya.
Hingga berusia 21 tahun, Malcolm bekerja serabutan di Roxbury, Boston. Kemudian, dia hijrah ke Flint, Michigan, sebelum akhirnya menetap di permukiman Harlem, New York City, pada 1943. Di sinilah Malcolm tenggelam dalam dunia gelap narkoba, perjudian, dan perampokan.
Setelah cukup mahir, dua tahun kemudian dia kembali ke Boston untuk membentuk kelompok kriminal. Namun, targetnya dibatasi hanya keluarga kulit putih yang kaya raya. Pada 1946, pria jangkung ini kedapatan mencuri dan akhirnya ditangkap aparat kepolisian setempat. Bertahun-tahun lamanya dia harus men jalani kurungan di rumah tahanan Charlestown.
Siapa sangka, perubahan drastis hidupnya bermula dari tempat ini. Malcolm berkenalan dengan John Bembry. Baginya, Bembry merupakan pria yang terpelajar, sehingga menimbulkan respek sejak pertemuan pertama.
Lantaran bersahabat dengannya, Malcolm mulai gemar membaca banyak buku. Kelak, dalam autobiografi yang ditulis Alex Haley (1965), Malcolm mengenang ma sa-masa di penjara ini dengan an tusias: Saya belum pernah merasakan kebebasan begitu besarnya sepanjang hidup saya (seperti ketika di Rutan Charlestown-- Red).
Di dalam penjara, Malcolm mulai mendengar informasi tentang Nation of Islam (NOI). Organisasi pejuang hak-hak sipil orang kulit hitam AS ini dikenal juga sebagai Black Muslims karena diisi orang-orang Islam.
Pada 1948, dia berkorespondensi dengan pemimpin NOI, Elijah Muhammad, yang lantas menasihatinya agar mulai meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk. Dalam autobiografinya kelak, Malcolm mengingat, saat itu hal terberat baginya adalah menundukkan diri untuk berdoa-- sesuatu yang amat jarang dilakukannya sebelum mengenal Islam.
Sejak 1953, Malcolm bebas dari penjara dan segera bergabung dengan NOI. Mulai tahun itu pula, beberapa sumber menyebutkan, aktivis kulit hitam ini memeluk Islam. Dia pun mengganti nama belakangnya menjadi X.
Huruf itu baginya menandakan sebuah pencarian panjang akan keluarga yang sejati dan bermental merdeka dari kaum Afro- Amerika keturunan budak. X juga membedakan generasinya dengan para leluhur yang terkurung nasib dalam sistem perbudakan.
Nama belakangku `X' mengubah nama (belakang) `Little'yang disematkan kaum kulit putih pemilik budak. Dahulu seorang kulit putih menamakan nenek moyangku Little, katanya.
Kecenderungan untuk mengganti nama setelah memeluk Islam juga terjadi pada beberapa tokoh lain dari kelompok kulit hitam AS. Misalnya, Cassius Clay alias Muhammad Ali. Semasa hidup nya, Malcolm X bersahabat dengan petinju legendaris itu.
Mental merdeka itu pula yang men jadikannya seorang autodidak sepanjang hayat. Semasa anak-anak, Malcolm X termasuk rajin dan cemerlang. Cita-citanya menjadi seorang ahli hukum.
Namun, gurunya di sekolah berkata bahwa sebaiknya Malcolm melupakan cita-cita itu karena warna kulitnya. Kecewa dengan pelecehan tersebut, dia pun meninggalkan bangku sekolah formal.