REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Tarbiyah PP Persatuan Islam (Persis), Irfan Saprudin, menanggapi informasi adanya masjid-masjid di DKI Jakarta yang dianggap menjadi tempat penyebaran paham radikal. Puluhan masjid di DKI diduga memberi tempat bagi penceramah dalam menyampaikan paham radikal. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa sesuai konsepnya, masjid merupakan salah satu tempat pusat peradaban Islam dan tempat suci umat Islam untuk beribadah.
Karena itu, menurutnya, menjadi naif jika masjid ditandai sebagai tempat penyebaran paham radikal. "Nampaknya sekarang ada yang ingin mendominasi (memonopoli) pemaknaan suata kata dan tafsirannya menjadi kebenaran yang harus diterima semua pihak," kata Irfan, saat melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (7/6).
Irfan menyontohkan Masjid Dhirar saat zaman Nabi. Ia mengatakan, Masjid Dhirar merupakan masjid yang dibangun oleh orang-orang yang munafik yang ingin menghambat dan menghancurkan citra Islam. Sementara itu, ia mengatakan bahwa istilah radikal tidak bisa disandarkan kepada dakwah yang berdasarkan Alquran dan Hadits, karena hal itu bersifat mendasar.
Menurutnya, istilah radikal bisa saja disandarkan pada penggunaan metode atau pendekatan dakwah. Sebagai contoh, kerja KPK sangat radikal, sehingga para oknum pejabat yang korupsi bisa tertangkap tangan atau diseret ke meja hijau. Kata radikal dalam kalimat tersebut menurut Irfan bermakna positif.
Jika di zaman Belanda, orang Indonesia yang membela Nusantara dan memelopori gerakan untuk pemberdayaan bangsa Indonesia disebut ekstrimis dan itu merupakan sebutan versi Belanda. "Dakwah yang berdasarkan Alquran dan Hadits itu tidak ada yang bertentangan dengan HAM. Prinsip dakwah Islam berdasarkan syariah tujuannya untuk kemaslahatan manusia," lanjutnya.
Dalam hal ini, ia mengatakan kemaslahatan tersebut harus menjaga dari lima hal, di antaranya agama, jiwa/diri, kehormatan, akal, dan harta. Terkait upaya menangani penyebaran paham radikal, Irfan mengatakan bahwa pemerintah hendaknya melakukan pembinaan. Namun, menurutnya, pendekatan pembinaan terhadap umat harus bisa menggunakan istilah dalam fungsi seorang dokter.
Di sini, pemerintah bisa melakukan pendekatan pembinaan dengan langkah 'promotive' tentang Islam yang mengajarkan perdamaian. "Sementara langkah yang bersifat preventif bisa dilakukan menghadapi situasi sekarang dan itu harus bekerja sangat keras. Kalau yang besifat curative dan rehabilitative itu pilihan terakhir," ujarnya.
Ia menuturkan, langkah-langkah preventif bisa dilakukan dengan melakukan dialog, pertemuan dua arah, kajian bersama, mendengar permasalahan bangsa, menampung berbagai usulan, masukan dan pertimbangan, serta menjadi kemitraan dengan saling menghormati. Adapun di bidang lainnya, pemerintah menurutnya bisa bekerja dengan memperbaiki ekonomi umat, meningkatkan kesejahteraan bangsa, berpihak kepada rakyat, mendahulukan kepentingan nasional dan bangsa dibandingkan kepentingan bangsa lain.
Sementara langkah-langkah yang harus dihindari dengan metode curative seperti pendekatan dengan kekuasaan, mengedepankan sistem keamanan, intimidasi, teror state, pendekatan politik, dan lainnya. Adapun langkah rehabilitative menurutnya dilakukan saat kondisi bangsa sudah hancur.
Sebelumnya pada pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan para cendekiawan Muslim di Istana Negara, Senin (4/6) lalu, cendekiawan Muslim Azyumardi Azra menyampaikan terdapat sekitar 40 masjid di wilayah DKI yang memberikan ceramah mendekati radikalisme. Menurutnya, penceramah di dalamnya justru mengajarkan paham radikal dan intoleran.
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno, juga menyebut ada puluhan masjid di ibukota yang menjadi tempat penyebaran paham radikal. Ia mengatakan, data tentang masjid-masjid tersebut terdapat di Biro Dikmental dam Bazis DKI.