Rabu 30 May 2018 07:03 WIB

Berkunjung ke Makam Fatimah Binti Maimun di Gresik

Fatimah binti Maimun kemungkinan adalah keturunan dari pedagang Arab atau Persia.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi  Jawa Timur.
Foto: Abdul Hadi WM
Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID,  Gresik adalah pusat Islam di Nusantara pada masa lalu. Pengaruh tempat ini bukan hanya sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa saja, tapi meluas hingga wilayah timur Indonesia. Di kepulauan Maluku yang berdekatan dengan perbatasan dengan Timor Leste (wilayah kepulauan Alor dan Solor) bahkan ada legenda penduduk setempat (legenda Oelelang)  yang berlayar dan belajar ajaran Islam (nyantri)  di Gresik. Di ikut naik dalam perahu dari Jawa menuju kota itu guna belajar kepada Sunan Gresik.

Pusat penyebaran Islam di Gresik kala itu adalah memang sebuah pesanten yang dipimpin oleh Sunan Gresik. Namun, sebelumnya Gresik yang saat itu juga merupakan kota pelabuhan utama di Majapahit, sudah dihuni oleh para penyebar Muslim semenjak lama.Bahkan Gresik menjelang munculnya kerajaan Demak, Gresik sempat menjadi kekuasaan tandingan Majapahit yang kala itu sudah sempoyongan didera aneka konflik perebutan kekuasaan.

Salah satunya jejak dari sejarah itu adalah adanya makam seorang muslimah bernama Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi  Jawa Timur.Guru Besar Filsafat, Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM, beberapa waktu lalu sempat mengunjungi tempat tersebut.

''Pada abad ke10 dan 11 desa Leran merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal-kapal asing. Termasuk kapal-kapal dagang dari tanah Arab, Persia dan India. Dalam kitab sejarah memang dikemukakan bahwa para pedagang Arab, Persia, Turki dan India (atau keturunan campuran mereka) memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara,''  kata Abdul Hadi WM, kepada Republika (30/5).

Namun, katanya, jangan pula berpikir pedagang Muslim pada abad ke-12 dan 13 M yang datang ke Nusantara sama dengan pedagang Eropa dan kapitalis yang sekarang. Para pedagang Muslim itu berbeda sama sekali dengan pedagang atau pelaut Eropa asal Semenjanjung Iberia yang datang lebih belakangan. Mereka tidak bermaksud membuat koloni (tanah jajahan), mereka datang ke Gresik untuk berdagang sembari menyebarkan agama.

"Pedagang Muslim itu sebagian juga adalah memang muballigh dan sufi, yang datang ke Nusantara bersama organisasi tariqat dan organisasi dagang (gilde) yang mereka dirikan. Jaringan perdagangan dan intelektual mereka membentang dari Istanbul (Turki) dan Damaskus (Suriah) sampai India, Samudra Pasai, Gresik, hingga Maluku. Mereka memilih jadi saudagar karena tiidak mau tergantung kepada penguasa,'' tegasnya.

Fatimah binti Maimun jelas bukan orang sembarangan. Ini terlihat dari bentuk atau model makamnya yang semegah itu. Adanya makam Fatimah juga membuktikan dia setidaknya adalah orang berpengaruh atau berada

"Pedagang-pedagang Arab, Persia, Turki atau Arab-India yang datang ke Indonesia pada umumnya tidak membawa istri. Mereka kawin dengan wanita Nusantara, karena mereka harus tinggal lama di perantauan,'' katanya.

Selain itu, lanjutnya, Fatimah binti Maimun kemungkinan adalah keturunan dari pedagang Arab atau Persia dari hasil perkawinannya denga wanita pribumi (Jawa). Tulisan Arab pada makamnya berjenis Kufi Timur dengan ragam hias bercorak Persia."Kemegahan makamnya juga dimaskudkan untuk menandingi candi. Bentuk makamnya itu memang bercorak Persia."

Kecermalangan Gresik redup pada zaman Sunan Amangkurat I. Kala itu Raja Mataram yang merupakan anak Sultan Agung yang bernama Raden Mas Sayidin ini berselisih dengan para ulama terkait persaingan suksesi kerajaan. Celakanya perilaku Amangkurat I ini tak begitu terpuji karena terlibat dalam berbagai skandal sehingga para ulama menentangnya. Akibatnya Amangkurat I marah, Pesantren di Giri dan berbagai pesantren yang berada dalam jaringannya yang berdiri di tepian Bengawan Solo dibakar habis.

Catatan arsip Belanda menceritakan kisah kelam Amangkurat I. Raja ini memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan keluarga ulama dan santri pada suatu pagi hari. Amangkurat  tidak terima kepada mereka yang terpengaruh sikap ulama atau pesantren Giri yang melawannya. Arsip Belanda itu juga menceritakan sikap kejam Amangkurat yang gemar membunuh bawahannya. Ketika marah atau gundah hatinya dia bisa saja dengan gampang membunuh pembantunya. Misalnya, karena jengkel dengan pelayanan karena soal makan sirih, Amangkurat bisa membunuh 'bujangnya' dengan menusukkan keris kecil ke tubuhnya.

Setelah peristiwa pembakaran pesantren itu, pengaruh Gresik pun pudar. Kekuasaan berpindah ke pedalaman  Jawa (Jawa bagian selatan): Kota Gede (Mentaok), Kartasura, Surakarta, Yogyakarta. Gresik dan berbagai wilayah di pantai utara Jawa yang selama ini menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran agama Islam perlahan memudar. Apalagi kemudian wilayah itu, (Jawa bagian timur, termasuk Surabaya), area ini dikuasai oleh VOC sebagai imbalan memberangus pemberontakan Trunajaya.

Namun, ketika kekuatan ulama tersisih, pergerakan Islam terus melawan. Kerusuhan kecil terus berlangsung sehingga dikatakan sebenarnya kekuasaan Mataram terus rusuh, dilanda konflik, dan perang. Wujud perlawanan ini diantaranya kemudian dengan munculnya Perang Diponegoro. Perang Jawa ini ternyata punya tali temali dengan konflik pemberangusan pesantren di Gresik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement