REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kewenangan mengajar yang melekat pada gelar doktor awalnya berasal dari sistem keagamaan yang mengenal konsep konsensus. Ini artinya putusan terakhir suatu hukum adalah hasil kesepakatan para doktor dalam merespons seseorang atau sekelompok orang yang meminta pendapat hukum dari seorang ahli hukum atau fikih.
Namun, konsensus ini biasanya berlaku sementara. Sebab, pada suatu masa, konsensus ini bisa diubah oleh konsensus lain berdasarkan bukti baru. Dengan demikian, banyak perbedaan pendapat para doktor hukum Islam. Namun, ini menjadi suatu hal yang biasa terjadi di antara mereka.
Kondisi ini menarik perhatian peneliti Islam, Ignaz Goldziher. Pada akhir abad ke-19, ia melihat banyak kitab hukum yang merangkum perbedaan pendapat di kalangan doktor hukum. Ia menyebutnya sebagai sebuah fenomena penting, terkait bagaimana proses sebuah hukum ditetapkan. Seabad kemudian, Franz Rosenthal melakukan hal sama.
Di sisi lain, gelar doktor ini berkembang seiring dengan munculnya beragam perguruan tinggi hukum. Biasanya, berbentuk surau yang di sampingnya dibangun asrama untuk para pelajar. Seorang gubernur bernama Badr ibn Hasanawayh yang bernaung di bawah Dinasti Buwaihi membangun 3.000 surau di wilayah administrasinya.
Melalui perguruan tinggi semacam ini, pada abad ke-11, Abu Ishaq al-Syirazi menjadi doktor hukum pertama dari Madrasah Nizhamiyah. Sebuah lembaga pendidikan didirikan oleh Nizham al-Mulk. Bahkan, al-Mulk meminta Syirazi untuk menjabat sebagai dekan di madrasah itu.
Pendirian perguruan tinggi hukum juga didasarkan pada mazhab hukum yang berkembang. Al-Mulk membangun Madrasah Nizhamiyah yang menampung para doktor dan siswa yang bermazhab hukum Syafii. Keputusannya untuk memilih Syirazi menjadi dekan karena sang doktor memegang mazhab Syafii.
Di sisi lain, Abu Sa’d al-Mustawfi, menteri keuangan Dinasti Seljuk, yang meninggal dunia pada 1101 Masehi, membangun madrasah dengan pandangan hukum Mazhab Hanafi. Dalam perkembangannya, madrasah ini tak kalah pamor dibandingkan Nizhamiyah. Kedua madrasah dibangun pada 1065-1067 Masehi.
Seorang sejarawan bernama al-Bundari yang hidup pada 1226 Masehi menuliskan kisah ini dalam buku sejarahnya tentang Dinasti Seljuk di Irak. Ia mengatakan, Syaraf al-Mulk Abu Sa’d al-Mustawfi mengetahui bahwa Perdana Menteri Nizham al-Mulk telah memulai pembangunan madrasah.
Menurut al-Bundari, untuk memperlihatkan bahwa al-Mustawfi bisa melakukan hal yang sama, ia membangun sebuah madrasah yang diperuntukkan bagi anggota-anggota mazhab yang dianutnya, Hanafi. Pembangunan ini dilakukan di lokasi makam Abu Hanifah di kawasan Bab al-Thaq.
Di sekolah hukum, baik Nizhamiyah maupun madrasah yang dibangun al-Mustawfi, dilakukan pendidikan ketat untuk menghasilkan pakar hukum. Mereka tak hanya berkutat pada persoalan Alquran dan fikih. Namun, sejumlah kemampuan penting lainnya, seperti tata bahasa, kefasihan, dan kemampuan berdebat.
Kemampuan seperti itu diperlukan untuk membekali calon ahli hukum dalam adu argumentasi mempertahankan ataupun menyampaikan pendapatnya dalam bidang hukum. Bila mereka tak menguasai dengan baik dasar-dasar pengetahuan itu, kelak mereka akan kesulitan menghadapi lawan bicara saat bersengketa soal hukum.
Para siswa biasanya belajar hukum selama empat tahun yang setara dengan S1. Mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi harus menjalani pendidikan lagi selama 10 hingga 20 tahun.