REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinasti Mamluk membawa warna baru dalam sejarah peradaban dan politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, walaupun tidak sepenuhnya diterapkan oleh masing-masing sultan, seperti yang berlangsung pada masa pemerintahan Sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun (1280-1290) di Mesir. Qalawun menerapkan sistem pergantian sultan secara turun-temurun. Sistem oligarki militer yang dijalankan oleh Dinasti Mamluk ini merupakan yang pertama kali diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam.
Bentuk pemerintahan oligarki militer adalah suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan berpengaruh, bukan melalui garis keturunan. Karena itu, sistem ini lebih mementingkan kecakapan, kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan. Sultan yang lemah bisa saja disingkirkan atau diturunkan dari kursi jabatannya oleh seorang Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.
Kelebihan lain dari sistem oligarki militer ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas juniornya untuk menduduki jabatan sultan, tetapi melihat kepada keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk tersebut. Dengan sistem pemerintahan oligarki militer ini, kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi karena mereka merupakan kandidat sultan.
Masa pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir yang cukup lama, yakni sekitar 267 tahun (1250-1517), telah menunjukkan dinamika politik yang sangat fluktuatif. Pada masa kekuasaan Sultan Baybars di Mesir, perubahan demi perubahan dalam bidang administrasi pemerintahan ataupun dalam ketentaraan mulai dilakukan. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elite politik. Jabatan-jabatan penting dipegang oleh anggota militer yang berprestasi.
Untuk mendapatkan simpati dari rakyat Mesir, sebagaimana Dinasti Ayubiyah, Baybars menghidupkan kembali mazhab suni. Baybars juga merupakan sultan Mesir pertama yang mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat mazhab dan mengatur keberangkatan haji secara sistematis dan permanen. Ia juga dikenal sebagai sultan yang saleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Beberapa undang-undang untuk menjunjung tinggi akhlak mulia juga dikeluarkan Baybars, seperti perintah larangan jual beli khamar, menutup tempat-tempat maksiat, dan banyak memenjarakan orang-orang yang berbuat kemaksiatan.
Di bidang diplomatik, Baybars menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang bersahabat dan yang tidak membahayakan kekuasaannya. Ia memperbarui hubungan Mesir dengan Konstantinopel serta membuka hubungan Mesir dan Sisilia. Selain itu, ia juga menjalin ikatan perdamaian dengan Barke (Baraka), keponakan Hulaghu Khan yang telah masuk Islam dan berkuasa di Golden Horde atau Kipchak Khanate (wilayah di bagian barat Kerajaan Mongol).
Jika Sultan Baybars telah berhasil menancapkan pundi-pundi pemerintahan dengan kokoh, masa pemerintahan Sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun dianggap sebagai puncak kejayaan dinasti ini. Pada masa ini, negara manjadi kokoh dan kuat. Sistem pemerintahan serta administrasinya terus berkembang dan kemajuan dalam berbagai bidang dicapai. Ahli sejarah mengatakan bahwa Kota Kairo pada masa al-Nasir seakan-akan sebuah imperium besar yang bersatu.
Sejarawan Ibnu Tagri Bardi menyatakan bahwa al-Nasir Muhammad bin Qalawun adalah sultan yang terhebat. Ia telah terbukti menjadi sultan yang disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat, di baik dalam maupun di luar kesultanannya. Dialah yang telah melindungi Mesir dari jamahan bangsa Mongol sehingga Mesir selamat dari kehancuran, seperti apa yang telah terjadi pada wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh tentara Mongol. Sejarah telah menjadikannya contoh dalam berdiplomasi dan pengelolaan sebuah kerajaan Islam.
Kebijakan-kebijakan politik al-Nasir Muhammad yang secara nyata memihak masyarakat, di antaranya, adalah penekanan harga barang-barang sehingga tidak menyulitkan masyarakat miskin. Dalam bidang fiskal, ia menghapus sejumlah aturan pajak yang sebelumnya menjadi kewajiban sebagian besar penduduk, kemudian menggantinya dengan memungut pajak dari orang-orang yang mempunyai kelebihan harta. Atas keberhasilan Sultan al-Nasir Muhammad ibn Qalawun inilah, takhta tetap berada di tangan garis keturunannya.