REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem pemerintahan oligarki militer yang diterapkan oleh Dinasti Mamluk banyak mendatangkan kemajuan di wilayah kekuasaan mereka. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam berbagai bidang, seperti militer, perekonomian, ilmu pengetahuan, seni, dan arsitektur.
* Militer
Pada era Dinasti Mamluk, produksi buku mengenai ilmu kemiliteran mengalami perkembangan pesat. Meski jauh sebelumnya, kaum Muslim sebenarnya sudah menulis berbagai karya mengenai perang serta pengenalan terhadap seluk-beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku mengenai militer yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah The Catalogue karya Ibnu al-Nadim (990-998 M).
Dalam karya itu, al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, bagaimana menyusun pasukan, cara berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah. Bahkan, pada periode kekuasaan Dinasti Mamluk, produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembag sangat pesat. Minat para penulis pada periode ini semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan yang sering diulas dalam karya-karya tersebut adalah seluk-beluk yang berkaitan dengaan serangan bangsa Mongol.
Pada awal kekuasaan Dinasti Mamluk, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh at-Tharsusi sekitar tahun 1174 M. Buku ini membahas keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam memenangkan perang melawan bala tentara Salib dan menaklukkan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya, selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medang perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini juga dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abu Bakar al-Harawi (wafat 1214 M). Buku ini membahas secara detail taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan Muslim di medan tempur dan dalam pengepungan.
Pada lingkungan militer Dinasti Mamluk, sejumlah karya tentang militer, khususnya yang mengulas keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah, banyak ditulis. Dalam buku-buku semacam ini, dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon kesatria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya al-Aqsara'i (wafat 1348 M) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concerning the Science of Horsemenship. Buku ini lebih lengkap dibandingkan karya-karya militer sebelumnya. Buku ini tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, tetapi juga membahas doktrin dan pembahasan pembagian rampasan perang.
* Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan negeri-negeri Barat, seperti Prancis dan Italia, melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa. Posisi Kairo menjadi lebih penting lagi setelah menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Keberhasilan bidang ekonomi tidak hanya terjadi di sektor perdagangan, tetapi juga di sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan meningkatnya hasil-hasil pertanian. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamluk sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
* Ilmu Pengetahuan
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, khazanah keilmuan banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah, tercatat nama-nama besar, seperti Ibnu Khalikan, Ibnu Taghribardi, dan Ibnu Khaldun. Di bidang astronomi, dikenal nama Nashiruddin at-Thusi. Di bidang matematika, ada Abul Faraj al-'Ibry.
Dalam bidang kedokteran, sejarah mencatat sejumlah nama ilmuwan Muslim, seperti Abul Hasan 'Ali an-Nafis (penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia), Abdul Mun'im ad-Dimyathi (seorang dokter hewan), dan ar-Razi’ (perintis psikoterapi). Dalam bidang optalmologi, dikenal nama Shalahuddin ibn Yusuf.
Dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang mujadid sekaligus mujahid dan ahli hadis dalam Islam. Selain itu, sejarah juga mencatat nama Imam as-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan dan Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani yang menguasai ilmu hadis, fikih, dan sebagainya.
* Arsitektur
Dinasti Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, tempat-tempat peristirahatan, kubah, dan menara masjid.
Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa penguasa Mamluk yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, Dinasti Mamluk sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Jawatan pos
Keberadaan jawatan pos pada era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir juga menjadikan jawatan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulaghu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.
Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh, para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam pada siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Pada malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Namun, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.
Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo pada era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo.
Menurut sejarawan Barat, Paul Lunde, dalam tulisannya yang bertajuk Dynasty of Warriors, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Akan tetapi, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.
Lunde juga menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati sebab dia memiliki banyak musuh, kata Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.
Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parsel. Alkisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai seribu keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat pada Abad Pertengahan.