REPUBLIKA.CO.ID, Agama Islam dituntut untuk menjadi agama yang rahmatan lil alamin. Jargon inilah yang kemudian mendorong Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk memperluas jangkauan pergerakanya. Oleh karena itu, PP Muhammadiyah tak ingin berpuas diri untuk hanya berkancah pada skala Indonesia saja, melainkan juga di kancah global.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, gerakan go internasional itu pun telah dialakukan sejak dirintis oleh Ahmad Dahlan. Namun, saat itu masih sebatas relasi antara Islam di Indonesia dan Islam di Timur Tengah (Timteng).
"Sejak awa tahun 2000-an, langkah itu pun dilanjutkan secara gradual atau bertahap. Sehingga, Muhammadiyah tak hanya bergerak dalam ranah domestik namun juga dalam ranah global yang lebih luas," ujar Haedar kepada Republika.co.id, saat dijumpai di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta pada Senin (16/4).
Secara keseluruhan, lanjut dia, hingga saat ini, intensitas kerja sama Muhammadiyah dengan pihak luar negeri cenderung mengalami peningkatan. Baik itu kerja sama yang dilakukan dengan pemerintah setempat maupun lembaga non pemerintahan di negara tersebut. Dari seluruh bidang, salah satu bidang kerja sama yang telah lama dilakukan adalah kerja sama terkait amal usaha pendidikan pada taraf penguruan tinggi.
Menurut pria kelahiran Bandung tersebut, misi dari pergerakan Muhammadiyah di kancah global adalah untuk menyosialisasikan, menerapkan dan menghadirkan Islam yang berkemajuan pada ranah yang jauh lebih luas. "Kita ingin menunjukan bahwa Islam yang merupakan agama peradaban harus hadir dengan pusat keunggulan, agar dunia mengetahui bahwa umat Islam itu tak hanya bicara tentang Islam yang rahmatan lil alamin, tak hanya bicara bahwa Islam telah tersebar di penjuru dunia," ucapnya.
Hingga saat ini, fokus awal langkah internasionalisasi yang dilakukan Muhammadiyah adalah pada amal usaha pendidikan. Latar belakangnya adalah, lanjut Haedar, pendidikan merupaka pilar strategis bagi kemajuan suatu bangsa.
Dengan kata lain, jika kita ingin membawa bangsa manapun untuk maju, maka harus dilakukan dengan memajukan bidaang pendidikanya. Kenyataanya, bangsa yang peradabanya maju pasti maju pulalah pilar pendidikanya. Hal itu dapat diliha dari beberapa negara maju seperti Amerika Serika, negara-negara di Eropa serta Jepang.
"Begitupun sebaliknya, jika ingin menghancurkan negara, bukan dengan melakukan invasi militer. Untuk menghancurkan sebuah negara sebenarnya cukup dengan mennggerogoti pilar pendidikan di bangsa tersebut," kata dia.
Terkait kehadiran amal usaha pendidikan Muhammadiyah di luar negeri, saat ini Muhammadiyah telah merintis di tiga negara. Pertama melalui realisasi Markas Muhammadiyah di Kairo yang juga menjedi sarana pendidikan usia dini melalui aman Kanak-Kanak (TK) Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) yang telah beroperasi sejak 2003.
Disebut sebagai markas, karena tempat ini juga dijadikan sebagai pusat hubungan kerja sama dalam dialog Islam antara Indonesia dengan negara di Timteng. Selain TK ABA, pada 2019 ditargetkan Muhammadiyah juga telah mulai mengoperasikan sarana pendidikan dasar dan menengah di Australia. Saat ini, lahan milik Muhammadiyah di Melbourne seluas 10 hektare tengah dipersiapkan pusat pendidikan Muhammadiyah serta Islamic Centre.
Di tahun yang sama yakni pada 2019, ditargetkan konsorsium Universitas Muhammadiyah juga dapat mulai mendirikan kampus di Malaysia. Saat ini, cetak biru dari program tersebut tengah digodog sembari melakukan proses perizinan serta pengadaan lahan di Malaysia.
"Dari ketiga negara yang tengah dirintis tersebut, Australia memang menjadi sorotan tersendiri. Kami sengaja hadir di Australia karena negara itu merupakan miniatur Eropa. Oleh karena itu, dengan kehadiran Muhammadiyah, kami ingin menunjukan wujud gerakan positif dari Islam untuk menangkal stigma yang berkembang di dunia barat," ucap Haedar.