Selasa 17 Apr 2018 19:00 WIB

Tradisi Autodidak Lahirkan Sosok Intelektual

Salah satu produk autodidak adalah Ibnu Sina

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi autodidak yang berkembang di tengah masyarakat Muslim pada akhirnya melahirkan banyak sosok intelektual berotak cerdas. Mereka bahkan mampu menorehkan pretasi besar melalui pemikiran dan karyanya. Salah satu ilmuwan cemerlang yang belajar autodidak adalah Ali ibn Syahak al-Bayhaqi. Ia seorang filsuf .

Kisah Ali ini termuat dalam karya penulis biografi bernama al-Bayhaqi. Menurut al-Bayhaqi, Ali telah buta sejak kecil dan merupakan penghafal Alquran. Keterbatasan fisiknya itu tak menghalanginya menguasai materi pokok dan cabang kajian sastra serta tata bahasa. Ia pun mendalami filsafat tanpa bimbingan seorang guru.

Saat seseorang membacakan buku tentang logika kepada Ali, ia menghafal, mengulangi, dan menelaahnya hingga ia memahami benar materi tersebut. Hal yang sama ia lakukan dalam mempelajari bidang ilmu lainnya. Sosok lainnya adalah Abu al-Fath al-Mishri yang meninggal dunia pada 952 Masehi.

Al-Mishri beberapa kali harus kehilangan bukunya karena terbakar. Di sisi lain, ia gemar membeli buku, terutama yang belum ia pelajari di bawah bimbingan seorang guru. Ia kemudian mempelajarinya secara autodidak hingga memahami sepenuhnya isi dalam buku yang dibacanya. Demikian pula dengan ilmuwan bernama Abu al-Hasan al-Adami.

Berdasarkan sejumlah catatan biografis tentang cendekiawan cemerlang yang menguasai beragam disiplin ilmu, Ibnu Sina mengungkapkan bahwa ia mendapatkan sebagian besar ilmu pengetahuan yang mengantarkannya menjadi filsuf dan dokter ternama secara mandiri tanpa bimbingan guru.

Ibnu Sina, dalam catatan biografis tersebut, menjelaskan bagaimana ia menguasai ilmu logika. Ia memulai membaca dan mempelajari sendiri komentar-komentar mengenai sejumlah karya tentang logika. Hingga kemudian, ia benar-benar menguasainya. Lalu, ia pun tertarik mempelajari ilmu kedokteran.

Ketertarikan itu menggerakkannya untuk membaca buku-buku yang memuat ilmu kedokteran. Ibnu Sina mengatakan, ternyata ilmu kedokteran bukanlah termasuk cabang ilmu pengetahuan yang sulit. Ia mempelajarinya dalam waktu singkat hingga sejumlah dokter terkemuka belajar melalui bimbingannya.

Pada saat yang sama, Ibnu Sina mengikuti kuliah dan perdebatan dalam bidang hukum. Hal itu ia lakukan saat usianya masih sangat belia, 16 tahun. Memang, terkadang ia menghadapi kendala. Setiap kali tersandung masalah yang membingungkan, misalnya tak menemukan solusi dalam silogisme, ia mengatakan akan segera beranjak menuju masjid.

Lalu, ungkap Ibnu Sina, ia bersujud di hadapan Sang Pencipta alam semesta hingga Dia menyingkapkan hijab yang menghalangi dirinya dan kemudian segala persoalan pun menjadi mudah. Sambil mempelajari ilmu hukum di lembaga pendidikan, ia mempelajari sendiri apa yang tak diberikan di lembaga pendidikan yang ia ikuti.

Masih ada figur terkenal lainnya yang juga belajar secara autodidak, yaitu Fakh al-Din al-Razi. Seorang cendekiawan yang bernama Ibn Abi al-Ushaybiah menceritakan kisah yang disampaikan oleh seorang hakim di Marrand kepada dirinya, terkait ihwal pendidikan yang ditempuh oleh al-Razi.

Hakim yang dikutip al-Ushaybiah mengatakan, ketika Syekh Fakhr al-Din al-Razi menetap di Marrand, ia merupakan murid di perguruan yang jabatan guru besar hukumnya di pegang oleh sang hakim. Al-Razi belajar ilmu hukum di bawah bimbingan guru besar tersebut.

Setelah itu, kata hakim tersebut, al-Razi memilih untuk mempelajari ilmu filsafat secara mandiri. Walaupun tanpa bimbingan seorang guru, al-Razi mampu menguasai bidang itu dengan baik dan lebih unggul dibandingkan ilmuwan lainnya. Ia menjadi sosok alim yang tak ada tandingannya pada masa itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement