REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melestarikan ilmu pengetahuan telah lama dirintis. Kaum intelektual Muslim menuangkan pemikiran dan gagasan mereka dalam sebuah karya. Maka itu, banyak manuskrip yang berisi catatan pemikiran gemilang mereka. Lalu, menjadi warisan dan rujukan bagi generasi Muslim selanjutnya.
Manuskrip ini terserak di berbagai wilayah pemerintahan Muslim. Irak, misalnya, sejak periode awal perkembangan peradaban Islam, memiliki peran penting dalam menghasilkan teks-teks tertulis. Sejumlah kota di Irak menjadi sentra manuskrip yang merangkum peradaban Islam.
Kufah, yang ditetapkan menjadi pusat pemerintahan pada 638 Masehi, merupakan salah satu pusat penulisan karya-karya ilmiah. Peran lain kota ini adalah pengembangan bahasa Arab tertulis. Hingga kemudian, lahirlah gaya penulisan Kufi, baik dalam penulisan Alquran maupun ornamen pada bangunan penting.
Selain itu, ada Basra. Di kota inilah, mula-mula berkembang literatur prosa Arab dan penulisan gramatikal bahasa Arab. Tak hanya itu, Basra merupakan titik penting dalam perkembangan puisi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada abad ke-10 Masehi, di sana sejumlah perpustakan penting berdiri. Pendirian ini terutama dilakukan seorang intelektual, Ibnu Sawwar, yang disebut sebagai Dar al-Ilm. Perpustakaan-perpustakaan tersebut merupakan perpustakaan wakaf pertama.
Baghdad pun menjelma menjadi kota yang sangat penting dalam perkembangan literatur selama empat abad sejak abad ke-8 Masehi, setelah kota ini ditetapkan menjadi ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Banyak manuskrip ditemukan di sana.
Sebab, di kota inilah tradisi ilmiah dan sastra Arab mengalami perkembangan yang begitu pesat. Bertebaran pula bangunan perpustakaan yang menyimpan teks-teks dalam beragam bidang kajian ilmu. Hal ini diungkapkan ahli bibliografi yang juga seorang penjual buku, Ibnu Al Nadim, yang hidup pada abad ke-10.
Berdasarkan daftar yang dimilikinya, Nadim mengungkapkan, terdapat 4.300 penulis yang tulisannya terdapat di perpustakaan yang ada di Baghdad. Manuskrip-manuskrip itu mencakup bahasan tentang matematika, astronomi, biologi, kedokteran, fisika, kimia, geografi, filsafat, hukum, dan teologi.
Sebagian dari manuskrip tersebut merupakan karya terjemahan dari bahasa Yunani. Sebagian lainnya merupakan karya para cendekiawan Muslim. Karya-karya ilmiah tersebut memiliki peran penting dalam mendorong kebangkitan ilmu pengetahuan dan pemikiran di dunia Islam yang pengaruhnya hingga ke Eropa.
Kegiatan lainnya adalah seni, yang terkait dengan manuskrip Alquran yang dibuat oleh Ibnu al-Bawwab. Selain itu, terdapat pula manuskrip yang sifatnya lebih personal. Misalnya, catatan harian seorang sejarawan Baghdad pada abad ke-11 Masehi yang bernama Ibnu al-Banna al-Hanbali.
Menurut Geoffrey Roper, pakar bibliografi internasional dan konsultan perpustakaan, dalam tulisannya, The Fate of Manuscripts in Iraq and Elsewhere, sebagian dari catatan Al-Hanbali ini masih bertahan dan berada di Damaskus, Suriah.
Manuskrip yang berisi hasil pemikiran para cendekiawan Muslim, tak hanya tersimpan di perpustakaan dan sebagai bahan bacaan. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di Baghdad telah ada tradisi diskusi ilmiah, di antaranya membahas karya-karya seorang ilmuwan.
Sejarawan Youssef Eche mengungkapkan banyak manuskrip tersimpan pula di Bayt al-Hikma. Pada masa selanjutnya, perpustakaan madrasah juga dipenuhi manuskrip ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk di masa kekuasaan Dinasti Seljuk. Di antaranya, di perpustakaan madrasah Nizamiyah dan Mustansiriyah.
Di Baghdad, berkembang pula perpustakaan-perpustakaan pribadi yang mengoleksi karya-karya cendekiawan Muslim ternama. Sayangnya, kumpulan manuskrip itu terusik saat terjadi penaklukan Baghdad oleh Seljuk pada 1059 Masehi. Perpustakaan milik Sabur Ibnu Ardashir hancur.
Padahal, perpustakaan tersebut mengoleksi sebanyak 10 ribu manuskrip dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.